Sunday, October 28, 2012

Responsibilty

Gue nggak bisa ngelakuin yang Siva bilang; memaafkan diri sendiri. Karena setelah ditelaah lagi, semuanya berawal dari diri gue sendiri. Otomatis salah gue dong?

Sebenernya masalahnya sepele, yah. Lo punya benda, dipinjem temen, terus rusak sama dia. Simple, huh? Iya, simple banget. Tapi kalau dari posisi gue, itu bukan hal sepele. Benda-benda itu yang beli bukan gue. Nyokap-bokap gue yang beli. Pake duit mereka. Bukan pake duit gue sendiri. Kalau benda itu rusak, yang disalahin siapa? Gue kan? Mau nyalahin temen gue bisa sih, tapi apa gunanya? Toh yang kena omelan gue-gue juga, bukan dia. Yang kena apesnya gue, bukan dia. Yang ngerasain diomelinnya gue, bukan dia.

Seandainya gue adalah orang yang tega, mungkin gue akan memaksa mereka untuk ganti rugi. Tapi sayangnya, gue nggak bisa. Eventhough dia yang menawarkan, gue tetep nggak bisa. Dari sini, gue bisa tau mana orang yang mau mengaku bersalah dan bertanggung jawab, dan mana yang nggak. Maaf kalau gue menggunakan temen gue sebagai contoh. Dia bilang, "Nanti gue ganti deh, Del," dengan suara pelan. Gue jawab, nggak usah, nggak papa. Sampai sekarang, dia nggak nyinggung-nyinggung lagi soal itu. See? You know what I mean?

Gue itu cuma bingung gimana cara gue bersikap ke temen gue itu. Kalau gue sabarin, nanti gue dimanfaatin terus. Kalau gue tegasin... sht. Harusnya kemaren gue tegasin. Kenapa gue bisa lupa kalau sebelumnya dia pernah ngerusakkin benda gue yang lain? Sht sht sht. I just can't stop blaming myself for HIS FAULT. Apakah tindakan gue termasuk "membela temen"? Kalau iya, betapa baiknya gue. Betapa beruntungnya dia. Betapa enaknya hidup dia.

Kenapa di dunia ini, harus ada orang yang nggak mau bertanggung jawab? Tanya kenapa.

1 comment

© based on a true story.
Maira Gall