Wednesday, December 31, 2014

#WhatRecentlyHappened Episode Tutup Tahun

Again, so many things happened just in a few days. I had so much to think and so much to do. I'm in the middle of a short holiday yang dipaksakan karena liburan kali ini mengharuskan gue untuk bolos kuliah selama seminggu. Gah. I hate this so much. I was doing my assignment only in 6 or 7 hours because I have to give it to Ratih, nitip nge-print sekalian ngumpulin. Gilak. Gue jadi takut lama-lama gue beneran jadi seorang procrastinator, yang kalau ngerjain apa-apa selalu mepet deadline. Tapi ya gimana dong? Idenya emang beneran muncul di detik-detik terakhir. Just like yesterday. I've got an assignment since two weeks ago. I know that I'll be in Abu Dhabi (yup, I'm in Abu Dhabi now. Postingan menyusul very soon!) right when the deadline is. I know that I should have done this fckin assignment before I leave. But, you know, the idea isn't come like... poof gitu langsung muncul. Nggak. I was completely confuse about what should I wrote. Pada akhirnya, setelah mikir kesana-kemari, nyari ide sambil jalan-jalan, munculah tema buat tugas gue itu. Malemnya gue browsing sebentar, besok paginya gue langsung kerjain. Gue sengaja nyetel jam tangan gue tetep jam Indonesia, supaya gue tau jam berapa di sana, dan supaya gue bisa ngerjain bareng temen-temen gue--walaupun via Line doang. Setelah berkutat dengan laptop dari sehabis Shubuh sampe Dzuhur, sampe sempet ogah-ogahan diajak keluar sama Nyokap, akhirnya selesai deh. Pas selesai itu sebenernya belum tenang juga sih, soalnya belum di-print sama Ratih dan belum dikumpulin. Tapi Alhamdulillah tugas sudah selamat sampai tujuan. Aku senang, aku gembira, aku bahagia. 

Sampai akhirnya negara api menyerang. 

FYI, gue menulis ini sambil dengerin puisinya Zarry Hendrik. Bangsat. 

Let's just get in to our main topic, shall we? Ehem. Sebagai seorang word smart, kata-kata itu ibarat... senjata utama, yang kalau hilang, gue bisa mati seketika. Gue nggak suka mengumpat secara langsung di depan muka orang yang gue benci. Gue lebih suka menyalurkannya lewat tulisan. Karena jujur, gue percaya tulisan itu lebih tajam rasanya dibanding ucapan langsung. Buktinya, dari tadi gue dengerin puisinya bang Zarry, jantung berasa tertohok. Ngeri-ngeri sedih. 

Ah, salah banget gue dengerin ginian. Mau di-stop tanggung. Huft. 

Balik lagi ke tulis-menulis. Tadi sekilas gue baca postingannya Diana Rikasari tentang dia dan blog-nya. Bagaimana ia menjadi lebih dewasa seiring dia 7 tahun nulis di blog. Gue tau betul gimana rasanya tumbuh bersama blog. Gue salah satunya. Lima tahun nge-blog, banyak perubahan yang terekam di sini. Dari masanya gue baru ngerasain asyiknya nulis blog--sampe sehari bisa bikin dua bahkan tiga postingan, masa-masa nulis tulisan yang nggak penting, nulis alay, curhat nggak jelas. Pokoknya semuanya yang terjadi lima tahun silam. Tapi pelan-pelan tulisan gue mulai berubah, entah itu dari segi gaya menulis atau isi tulisannya. Gue mulai mementingkan pembaca blog gue, kejadian apa yang terjadi di hidup gue yang boleh jadi konsumsi khalayak, curhatan mana yang kira-kira bisa jadi pelajaran buat gue dan pembaca gue supaya nggak terulang lagi, dan beberapa aspek penting yang mulai gue pikirkan matang-matang sebelum mengklik "publish". 

Dari blog gue belajar, bahwa tulisan bisa memicu peperangan. Apalagi ini dunia maya. Apa yang gue tulis bisa aja menyinggung perasaan orang lain. Walaupun, di beberapa kasus gue memang sengaja menulis untuk menyindir. Yah, it works sometimes. Tapi terkadang tulisan gue jadi percuma. Nggak bisa gue jelasin percumanya gimana, pokoknya percuma aja. 

Seperti yang gue bilang tadi, gue jadi mulai berpikir sebelum mem-publish. Nggak jarang gue udah nulis panjang lebar sampe berparagraf-paragraf, tapi akhirnya gue delete semua. Gue sering kayak gitu kalau lagi bener-bener kesel dan pengen ngeluarin kata-kata yang dalem banget. Lantas kenapa gue hapus lagi dan nggak gue post? Karena selama gue menulis kekesalan gue itu, ya keselnya berangsur-angsur hilang. Ya namanya blog kan bisa jadi temen curhat juga kan ya, anggap aja kita lagi curhat gitu ke temen. Selesai curhat keselnya mulai rada hilang kan? Sama juga dengan menulis. Abis selesai nulis, gue baca ulang, terus gue jadi merasa kayak, yaudahlah. Karena di satu sisi gue mikir bahwa kekesalan gue itu sepele, dan di sisi lain apa untungnya pembaca gue baca begituan? 

Nggal kuat dengerin suaranya bang Zarry malem-malem, aku beralih ke Payung Teduh aja. 

Well, sepertinya postingan ini nggak berhubungan dengan topik besar #WhatRecentlyHappened. Tapi sebenernya ini termasuk kok. /halah/ /gimana sih Del/ /nggak konsisten/ Perihal tulis-menulis ini, lagi sering-seringnya gue pikirkan. Gue juga sempet ngomongin ini bareng Andi waktu kita ketemuan. Buat kami--dan para penulis di luar sana--menulis lebih dari sekedar passion. Gue seneng nulis, anything. Selain itu, menulis adalah salah satu sumber penghasilan yang gue impikan sejak SD. Di sisi lain, menulis adalah pelampiasan terbaik ketika melampiaskan sesuatu ke orang lain bukanlah opsi yang tepat. Pernah denger ada orang berantem sama pulpen dan bukunya gara-gara dijadiin pelampiasan? Nggak kan? Itulah enaknya.

Sebenernya nggak cuma dengan menulis aja sih kita bisa melepas emosi kita. Untuk mereka yang suka gambar, suka nyanyi, suka main musik, atau bahkan suka masak, pasti pernah melampiaskan perasaannya ke bidang ahli masing-masing. Allah Mahaadil, guys. That's it. 

Agak melenceng tapi nggak apalah ya. 

Kembali lagi ke blog dan betapa kehadirannya cukup memberi kontribusi besar pada hidup gue. Dengan blog gue bisa menjalankan hobi gue, meskipun dalam skala kecil. Dengan blog, gue bisa tiba-tiba jadi orang bijak. Dengan blog, gue bisa melihat apa aja yang berubah dalam diri gue--apakah itu baik dan patut dilanjutkan atau justru sebaliknya. Dengan blog, gue bisa nyindir orang sampe orang itu sadar kalau gue kesel sama dia. Blog udah jadi teman hidup gue selama lima tahun terakhir. Nggak kebayang kalau dulu waktu SD, Melina nggak tau apa itu blog dan Raditya Dika nggak nerbitin novel Kambing Jantan. Di sisi lain gue juga nggak bisa ngebayangin gimana lima tahun yang akan datang hubungan gue dengan blog gue; apakah masih terus nge-blog sampe jadi nenek-nenek, atau malah berhenti karena terlalu sibuk kerja. We'll see. 

Ini mungkin postingan yang agak berat untuk dibaca. Yah, kebetulan gue berniat untuk mengubah image blog gue dari yang banyak guyonan menjadi lebih serius tapi tetep ada bumbu-bumbu komedi sedikit. Karena percayalah, gue itu lucu. Sangat lucu. Cuma kaliannya aja yang kadang suka malu-malu mengakuinya. Iya kan? Iyalah. 

Well, karena udah terlanjur milih judul "Episode Tutup Tahun", terpaksa gue harus menyinggung soal tahun 2014 ini. It's been an amazing year, actually. I'm 18 and in less than a month I'll be 19. Sekarang udah bukan masanya gue seneng bertambah umur. Eh tapi seneng deng, soalnya makin deket ke umur-umur mau nikah. HAHAHA. Buset udah nikah aja ya pikirannya. Susah sih ya kalau bergaul di lingkungan orang-orang yang haus kasih sayang, liat cowok dikit langsung pengen dijadiin calon imam. Halah.  

2014 has given me either good things or bad things. Masa-masa paling bangsat yang akhirnya terlewati, nggak lolos universitas negeri dan betapa bencinya gue sama orang yang malam sebelumnya gue doain supaya dapet yang terbaik karena waktu itu dia terus-terusan mengumbar ke-pesimis-annya di jejaring sosial lalu akhirnya dia lolos SBM di universitas yang cukup ternama dengan jurusan yang cukup membanggakan, perjuangan untuk bangkit dari keterpurukan sekaligus membenahi hidup sendirian--yang kemudian berantakan lagi, libur panjang yang diisi dengan berbagai rencana dan tujuan hidup, masuk kuliah dan bertemu orang-orang ajaib dari berbagai latar belakang, nafsu makan yang bertambah entah karena apa, dan banyak hal lainnya yang udah gue lupa. Intinya, so many ups and downs in 2014. Alhamdulillah I can get trough this year and still alive. Tidak ada pengharapan untuk tahun 2015 karena kalian mungkin tau bagaimana hubungan gue dengan harapan. Mungkin ada satu keinginan yang harus gue usahakan semaksimal mungkin supaya gue bisa menepati janji-janji yang belum gue lunasi. Insya Allah. 

No comments

Post a Comment

© based on a true story.
Maira Gall