Sunday, March 26, 2017

Anti Urusin Urusan Orang Club

Gue pikir semua orang bakal berubah. Ternyata nggak.

I did think that changes would come to me someday in the future. Walaupun gue sering bermasalah dengan konsep "perubahan", tapi gue sadar bahwa hal itu nggak akan bisa dihindari. Semenjak masuk ke dunia perkuliahan, semuanya jelas berubah. Lingkungan, orang-orang di dalamnya, dan makanan mungkin, semuanya bisa dibilang hal baru. Mungkin karena gue pada saat itu mendukung perubahan ini, bahwa kuliah bakal jadi awal gue membangun kembali semuanya. You know, leaving the past behind and look back only to see how far you go.

But somehow, hidup nggak cuma diisi sama orang normal dengan pemikiran logis dan dewasa. Sejatinya kita hidup dikelilingi banyak orang, dan beberapa di antaranya ada yang bikin hidup kita jadi lucu. Iya, lucu. Lucu karena kelakuan dan pikiran mereka yang diluar akal sehat kita.

Yang bikin lebih lucu lagi, orang-orang itu adalah mereka yang dulu pernah dekat sama kita.

Gue sempat dapet cerita menarik kemarin dari teman gue, Lutfia. Beberapa hari belakangan dia diajak untuk ngumpul sama teman-teman SMA-nya. Perlu dicatat bahwa teman gue ini adalah orang normal dengan pikiran yang logis. Catet nih. Nah, menjelang hari H, mulai diterorlah dia. Dipaksa untuk ikut dateng karena Lutfia udah janji bakal dateng walaupun nggak ikut kegiatan inti nggak berfaedah yang dirancang teman-temannya (baca: arisan). Perlu dicatat lagi bahwa kami, gue dan teman-teman gue, udah mulai diteror untuk ngerjain skripsi bab 1. Satu hal yang selama ini selalu kami bayangkan sebagai sesuatu yang menakutkan akhirnya datang. Tapi nggak menakutkan sih, cuma bikin pengen kayang di Bundaran Senayan aja. Balik lagi. Setelah diajak paksa untuk ikut, teman gue yang berpikiran normal dan logis ini bilang kalau dia mau nyicil bab 1-nya, terlebih karena dia memutuskan untuk ganti bahan dan harus mulai ngetik ulang background-nya.

Ini bagian seru dari orang-orang lucu yang ada di sekitar Lutfia.

Salah dua di antara mereka dengan santainya bilang,

"Ah basi," dan,

"It can wait, dude."

"..."

Walaupun gue seorang procrastinator, tapi denger ada orang dengan seenak pantat ngomong kayak begitu, rasanya pengen jejelin micin setoples biar dia tambah bego. Oke, mungkin gue terlalu cepat mengambil kesimpulan. Mari kita berusaha untuk membuat mereka tidak terlihat sebagai the bad guy-nya. Pertama, mungkin mereka nggak tau apa itu skripsi. Mungkin mereka tau ejaannya tapi nggak tau apa definisinya. Ini bisa aja terjadi sama orang yang belum sampai ke jenjang bikin skripsi. Which leads us to kemungkinan yang kedua, mereka belum mulai skripsi karena kuliahnya berjalan lambat. Kenapa bisa terlambat? Penyebabnya ada di poin ketiga, terlalu banyak menghabiskan waktu di luar. Makan di restoran unik atau ngopi di kafe lucu, yang ujung-ujungnya bakal jadi tai juga (makanannya, bukan restorannya).

Nah, poin-poin di atas bisa menghasilkan sebuah research question berbunyi:

"Bagaimana orang bisa dengan hebatnya ngurusin hajat hidup orang lain, sementara hidupnya sendiri sedang butuh perhatian?"

Balik ke temannya Lutfia, menurut gue, menyarankan seseorang untuk melakukan atau nggak melakukan sesuatu itu udah termasuk "ngurusin orang lain". Dia cuma temen lho, bukan orang tua atau kanjeng ratu yang biayain uang kuliah Lutfia. Kok bisa ada orang mau maju ke depan terus tiba-tiba ditarik supaya mundur ke belakang? Ini--ah, ini tuh--wah gila sih. Gue udah nggak tau mau ngatain pake kalimat apa lagi. Kalau ada orang yang nggak tau apa-apa tentang gue yang sekarang, dan tiba-tiba dateng terus langsung ikut campur sama urusan gue padahal dia juga punya kehidupan yang harus dia urusin, gue rasa orang itu punya masalah yang harus segera dia atasi.

***

Awalnya gue menganggap ini cuma masalah perbedaan lingkungan yang bisa bikin seseorang melakukan sesuatu diluar paham yang lingkungan kita anut. Tapi setelah gue pikir-pikir, kalaupun lingkungannya beda, kita punya... apa ya istilahnya, sesuatu yang kita sepakatin bersama sebagai sesuatu yang normal. Nggak mau ikut nongkrong dan lebih memilih untuk ngerjain skripsi itu adalah normal. Normal banget. Di sini kita justru malah nemuin yang sebaliknya. Berarti perbedaannya udah bukan di lingkungan lagi, melainkan di logikanya.

Kita mungkin bisa menerima logika temannya Lutfia kalau kita masih SMA. Kita belum punya banyak pengalaman dan cerita-cerita menarik dari orang-orang yang belum pernah kita temuin. Masalah di SMA cuma berkutat sama UN dan cinta-cintaan. Skripsi nggak ada di dalamnya. Bayaran kuliah nggak ada di dalamnya. Kerja masih jauh kemana-mana. If she said skripsi itu basi pas kita sama-sama masih SMA, gue akan bilang itu normal.

And then we got into college, met new people, blended in the diversity, heard some new stories from success people, dan hal-hal rumit dan menyenangkan lainnya yang nggak kita temuin di SMA. Seiring dengan perubahan lingkungan dan orang-orang di sekitar, otomatis cara pandang kita juga ikut berubah. Kayak yang gue bilang tadi di awal, perubahan adalah sesuatu yang nggak bisa kita hindari. Hidup kita nggak bisa cuma muter di satu titik doang, harus muter kesana-kemari walaupun jadinya kayak Ayu Ting Ting. But, THAT'S LIFE. You experienced something new, something strange, something unknown, something that you think is good and fun and shaped you to become a better you.

Tapi ternyata nggak semua orang berkesempatan merasakan itu. Atau mungkin, nggak semua orang mau berkesempatan merasakan itu.

Gue pikir semua orang bakal berubah. Ternyata nggak.

I just want to say that, you can't expect the person you used to know to stay the same as you are. People have their own journey, and so you are. Find yours and live with it. Nggak perlulah ngurusin hajat hidup orang yang lingkungannya udah beda sama lo. Nggak perlulah kita ujug-ujug dateng cuma buat eh apa kabar lo dan reminiscing the old times kalau kenyataannya cuma berakhir di postingan Instagram doang. Nggak perlulah jadi sentimen ngeliat orang yang dulu pernah kita kenal udah punya kehidupan sendiri. Bikin punya lo sendiri yang menurut lo seru. Dengan begitu kita nggak perlu memaksakan hidup kita untuk sama dengan orang lain, cukup bagi aja pengalaman kita dengan mereka dan sebaliknya. Kelar deh. Gampang kan?

No comments

Post a Comment

© based on a true story.
Maira Gall