Saturday, July 19, 2014

Apatis Ria

Ketika ada sesuatu yang gue nggak ngerti, atau nggak bisa, atau nggak suka, biasanya gue akan mengeluarkan sikap bodo amat terhadap hal-hal itu. Dulu di sekolah gue paling benci sebenci-bencinya orang benci sama apa yang dia benci sama Kimia. Apalagi waktu kelas tiga gurunya rada 'menegangkan'. Ditambah lagi dengan adanya 'cewek-itu-lebih-pintar-daripada-gue', makin jadi aja bencinya. Sebagai aksi ketidaksukaan gue, maka setiap pelajaran Kimia gue selalu gambar-gambar nggak jelas di buku. Well, lebih tepatnya sih nyoret-nyoret. Pernah suatu hari saking gue desperate dan frustrasi, gue coret satu halaman buku LKS Kimia gue sampe bolong. SAMPE BOLONG. Kalian tau kan kalau ngegesek-gesek pulpen gitu lama-kelamaan kertasnya jadi bolong? Nah, itu. Si Indah sampe ngomong ke gue dengan nada kasihan, "Sabar, Del, sabar..." TAPI itu cuma awalnya. Karena Kimia ini adalah bagian dari sekolah yang harus gue tuntaskan, dan juga karena di kelas gue entah kenapa hampir semuanya seneng berpartisipasi dalam pelajaran Kimia (yang mana bikin gue sebel dan minder dan depresi sesaat), maka gue pelan-pelan mencoba mendekati Kimia. Dalam waktu yang udah mepet-mepet mau UN, gue pelajarin materi-materi Kimia yang kira-kira bisa gue jangkau. Hasilnya sih lumayan, pas UN gue bisa ngerjain dengan lancar. Walaupun nilai Kimia gue paling kecil di antara pelajaran lain. Heuheuheu.

Masalah Kimia tadi hampir sama dengan ketidaksukaan gue terhadap orang-orang di sekolah. Awal mulanya juga sama, kelas tiga. Emang cobaan banget tuh kelas tiga. Intinya, gue melakukan kesalahan (yang sampe saat ini menurut gue itu adalah tindakan pencegahan yang cukup untuk mencegah bertambahnya konflik lain), dan banyak orang yang jadi berpandangan lain dan tambah lain terhadap gue. Kesel sih, apalagi ada saat di mana orang yang kalian percaya suka banget ngecewain kalian tapi dengan murah hatinya kalian selalu memaafkannya. Kata orang, itu namanya cinta. Kata orang, bukan kata gue.

Kalau yang tadi eksternal, sekarang internal. Gue sempet mengalami masa di mana gue harus bertahan di dalam kelas, bersama beberapa orang yang punya jalinan masalah sama gue, sehingga gue harus berpikir untuk bertindak gimana. Walaupun pada akhirnya kebanyakan tindakan gue nggak dipikir dulu. Gimana sih rasanya berada di tempat yang kalian nggak suka, bersama orang-orang yang kalian nggak suka juga? Kalau membunuh itu nggak dosa, mungkin gue udah bunuh beberapa di antara mereka. Atau sebaliknya, mungkin mereka udah ngebunuh gue.

Tapi ya meskipun nggak enak, Allah Mahaadil kok. Ada beberapa saat di mana gue merasa aman, nyaman, dan tenteram di kelas. Mostly because someone's presence, dan sisanya karena masih adanya orang-orang baik di sekitar gue. Temen ngobrol, ngegosip, ngecengin, boker di toilet pojok, ngerjain tugas, foto-foto, sumber advice nggak jelas, tukang nyanyi nggak jelas, orang bijak, dan fungsi lainnya. Walaupun seperti yang gue bilang di postingan sebelumnya, ada saat di mana kehadiran mereka bukanlah yang gue butuhkan, tapi mereka berguna juga kok di saat-saat tertentu.

Dan melalui postingan ini, gue mau berterima kasih sekaligus say goodbye sama mereka-mereka yang baik, dan mereka-mereka yang berada-di-katagori-lain-selain-baik. Sebelumnya maaf kalau ini akan terdengar seperti pidato ketua RT yang baru kepilih.
Pertama, untuk mereka yang baik. Terima kasih atas kebaikan kalian, kehadiran kalian, canda-tawa kalian. Kalian adalah orang-orang yang layak untuk dijadikan inspirasi buat karya-karya gue nantinya. Terima kasih karena kalian mau tumbuh bersama gue, makhluk hina yang nggak tau terima kasih. Terima kasih karena kalian pernah memberikan dukungan kepada gue, meskipun gue terlalu sombong buat mengakuinya. Terima kasih untuk dengkul, paha, dan terutama pelukan hangat dari kalian (termasuk kamu). Terima kasih untuk tepukan di pundak gue yang sekali ditepuk langsung letoy. Terima kasih untuk segala sesuatu yang gue nggak tau gimana cara bilang terima kasihnya. Terima kasih untuk segala sesuatu yang gue lupa untuk diterima kasihin. Pokoknya intinya gitulah.

Untuk mereka yang berada-di-katagori-lain-selain-baik. Terima kasih untuk rasa sakitnya. Terima kasih untuk depresi, frustrasi, hampir mati bunuh diri yang diam-diam kalian susupin di pikiran gue. Terima kasih untuk menjadi lebih hebat dan lebih sukses dibandingkan gue, sehingga setiap malam gue terpaksa memikirkan cara-cara untuk bisa menyaingi kalian sambil mengepalkan tangan dibalik selimut. Terima kasih untuk sindiran yang mahalucu, yang bikin gue naikkin sebelah alis dan memasang tampang "Seriously, Dude?", yang bikin gue menghindari sosial media demi mencegah jari yang gatel buat ngebales sindirian kalian. Terima kasih lagi untuk kepintaran dan keunggulan kalian dibanding gue, yang membuat gue bertekad untuk memperbaiki diri supaya bisa setara atau melampaui kalian. Terima kasih karena sesungguhnya, tanpa kehadiran kalian, gue nggak akan tau gimana caranya untuk melangkah ke depan. Terima kasih.

Semuanya, baik-baik ya kuliahnya. Kalau kata @/yeahmahasiswa, sekarang pikirin gimana caranya keluar dari sana. Hahaha. Mungkin kalian nggak akan ketemu gue secara sengaja dalam waktu dekat, karena jujur aja gue males ngeliat muka-muka kalian lagi. Serius. Muka kalian muka-muka minta dikomentarin banget. Tapi gue berjanji gue nggak akan ngelupain kalian, every single of you. Walaupun sebenernya gue lebih pengen ngelupain kalian, tapi sebagai manusia yang entah kenapa punya kapasitas memori yang banyak buat hal-hal yang nggak disikain, agak susah buat memaksa untuk lupa. Gue bisa jamin, dalam waktu kurang lebih 4-6 bulan lagi, gue bakalan kangen kalian dan gue (mungkin) akan nulis postingan tentang betapa kangennya gue dengan kalian.

Jadi, marilah kita menjalani hidup kita masing-masing dengan suka gembira tanpa ada gangguan dari masa lalu. Semoga keberhasilan menyertai kita semua kelak. Aamiiin.

Adios, Motherfuckers.

No comments

Post a Comment

© based on a true story.
Maira Gall