"Ayo Adella kamu pasti bisa."
"Katanya senimaaan."
"Pengen bikin novel lagi tapi kebanting mulu kalau ngeliat orang-yang-lebih-berpengalaman itu. Temennya banyak pula yang dukung."
"Jadi kita belum banyak nih menurut lo?"
"Jadi kita bukan temen lo yang ngedukung elo gitu?"
"Kalian berdelapan, mereka satu sekolah."
"APA PERLU GUE AJAK TEMEN-TEMEN KOREA GUE BUAT NGEDUKUNG ELU DEL??? BISA NGALAHIN SATU SEKOLAH LHO."
"Kalau lo percaya sama diri lo, lo nggak peduli Del sama berapa dukungannya. Yang penting percaya sama kemampuan elo. Kalau lo nyoba sesuatu untuk pertama kali dan itu fail, jangan takut untuk nyoba lagi. Belajar dari kesalah dan cari sumber referensi baru. Pokoknya jangan kalah sama ketikdapercayaan diri lo yang beralasan nggak ada yang dukung lo."
"Gimana ya...
Gue bukan penerima kritik yang baik tapi sekalinya dapet pujian senengnya nggak ketulungan."
"Semua orang juga gitu."
"Tapi jadi kesel sendiri."
"Gini deh. Bayangan besarnya, Del, misalkan lo rilis buku, terus banyak yang nggak suka jadi lo stop nulis padahal nulis itu hal yang paling lo suka sedunia?"
"...ya?"
"ITU TANDANYA ELO YANG LOSER DULUAN."
"Karena gue nyerah sebelum berperang?"
"Iya Del, lo nyerah sebelum berperang."
"Eh sebenernya gue udah nggak nulis buku lagi. Passion gue lebih mengarah ke skenario film."
"Yaudah Del, lo coba bikin skenario. Nanti gue bantu. Om gue sutradara."
"Kalau misalkan mau bikin skenario terus belum apa-apa udah dikritik terus nyerah duluan mah buat apeee?"
"Gue udah bikin satu, tapi baru storyline-nya."
"Yang penting selesaiin dulu, nanti kasih tau kita. Sekalian sharing. Tuker pikiran gitu, Del."
"Lanjutin. Kalau ada yang kritik jelek mah fu*k haters, Man!"
"Ayas kayaknya pengalaman banget sih."
"Dih lo nggak tau kan, piring hasil masakan gue mah dilempar kemana-mana. Dibentak gue."
"Del Mtz left grouuup."
"IH DEMI APA?"
"Meja digempar-gempar."
"Buset brutal amat, Yas."
"Ini gue demi apa buat Ayas sama Indira. Serius Yas dilempar? Serius Mtz left?"
"Ndir, kita lagi seriusan."
"Timing masakan harus keluar dari dapur sama kecepatan gue masak harus sama. Kalau chef udah stres, beeehhh."
"Njir, nangis nggak lo?"
"Gue sih mewek kali kalo pertama mah."
"Piring nggak panas aja dia udah 'WHAT THE FUCK IS THIS I WANT THE PLATE TO BE BOILING HOT WHY THE HECK IS THIS COLD?!' Padahal warm piringnya, nggak dingin. Gue sih nggak nangis, temen gue yang nangis. Gue tahan banting, coy."
"Ayas tahan banting yah."
"Banting Ayas yuk sekali-kali."
"Boleh tuh Del, biar doi nangis."
"Boleh."
"Nggak kuat angkatnya tau."
"Kan bareng-bareng."
"Iya Ndir, ramean ini."
"Udah tau kita tipis-tipis."
"Ih gue nggak tipis. Adella tuh tipis."
"Tipis di celana."
"PIPIS."
"Ayo, Deeel. Ini mungkin waktunya elooo. Kita dukung Adella."
"Kalian nggak banyak praktek sih, lebih ke teori. Jadi nggak papa kok, selamat."
"Masalah publishing, Mbak. Masih ragu-ragu icut."
"NAH PUBLISHING TUH DUNIA NYATA."
"Yee kalau nggak nyoba gimana mau tau, Del."
"Betul tuh Andi!"
"Gue pernah waktu di edit skenarionya sama orang-yang-lebih-berpengalaman, gue rada kesel gitu. Gue mikir yaudah kalau dia jago mah dia aja sana."
"Del lo pernah nonton video Raditya Dika yang tentang jeans itu nggak?"
"Jeans... pernah, pernah. Tapi lupa."
"Coba nonton lagi, siapa tau itu kembali memotivasi lo."
"Tuh kan Adella udah mau nyerah."
"Gimana dong Yas, dia udah level atas bangeeet."
"Aturan jangan minta editin. Tapi minta masukan aja. Biar lo memainkan imajinasi lo."
"Tuh denger Farisa!"
"Ya justru itu gue kesel karena imajinasi gue diubah."
"Minta pendapat sama minta dibenerin mah beda."
"Level itu kan persepsi, Del. Mungkin menurut lo gitu, tapi kan menurut orang lain mungkin nggak gitu."
"Maksudnya, gue merasa dia itu lebih berpengalaman. Tau selera pasar."
"Gini lho, Del, lo nanya aja 'Yang kurang apa?' Nah nanti lo kembangin lagi gitu."
"Well sebenernya waktu itu gue nggak minta pendapat atau minta di editin sih."
"Terus?"
"Terus?"
"Gue kasih aja itu skenario karena dia yang sempet nyemangatin gue buat bikin skenario."
"Menurut gue sih pertama-tama lo nggak usah terlalu peduli sama selera pasar. Yang penting lo udah berani nyoba aja dulu."
"Nah Andi bener.
Sekarang gini deh, Del. Jadi yang lo butuhin itu orang yang nyemangatin lo? Orang yang bisa nyemangatin lo maksudnya? Iya apa nggak?"
"Nyemangatin bikin skenario jadi harus ditunjukkin gitu skenarionya?"
"Ng... semacam itu. Mungkin."
"Aku juga mau dong disemangatin qaqa."
"ANDI BELUM WAKTUNYA."
"Gini ya, Del, menurut gue lo terlalu tertutup. Siapa yang tau lo bikin skenario? Paling cuma Andi, orang yang lebih berpengalamn itu. Iya nggak?"
"Nggak, gue nggak tau. ADELLA TELAH MENYIMPAN RAHASIA. CIH. JADI GINI DOANG PERTEMANAN KITA?!"
"Gimana orang lain mau nyemangatin elo? Nah Andi aja nggak tau. Kalau lo mau disemangatin, kita juga harus tau apa yang lagi mau lo lakukan."
"Pake bilang orang-yang-lebih-berpengalaman itu banyak yang dukung lagi."
"Hayolooo Deeel."
"Kalau lo ngasih tau kan pasti banyak juga yang ngedukung. Tapi lu nge-keep sendiri, kan?
"NAH. FARISA, AKU BERSAMAMU!"
"Nanti sesek lu, Deeel."
"Kenapa ya tiap Indi muncul gue selalu pengen ketawa."
"Dije nih memicu."
"Apa salahkuuu?"
"Gini gini, ini ngak tau sugesti atau apa, tapi dari dulu gue punya pemikiran kalau gue ngasih tau apa yang pengen gue lakuin, apa ide gue, pasti selalu nggak jadi. Entah itu nggak jadi gue bikin atau berenti tengah jalan. Jadi bisa dibilang gue sombong duluang. Makanya selama ini gue nggak mau ngasih tau apa yang pengen gue bikin."
"NONSENSE."
"Itu tuh cuma ada di otak lo, serius."
"At least lu bisa kasih tau orang-orang terdeket lu Del biar disemangatin. JADI LO ANGGEP GUE INI APA DEEEL?!"
"Kalau cara kerja lo kayak gitu, ya diem ajaaa. Terus tiba-tiba skenario udah jadi di publisher. Bikin orang terkesima."
"Susah, Yas."
"Tapi kalau cara kerja lo kayak gitu, harus dedikasi."
"Nah..."
"Maksudnya?"
"Tandanya lo siap kerja nggak pake dukungan apa-apa tapi yakin lo bisa berhasil. Gitu. Keren dah."
"Ya itu sempet pengen gue tanamkan di otak gue."
"Hah orang terkenal aja mungkin susah Yas nggak pake dukungan siapa-siapa. Kalau nggak ada yang dukung lo, siapa yang bakal lo tulis di ucapan terima kasih?"
"Jadi kalau ada saatnya lo down atau bener-bener perlu masukan, tapi tetep takut gagal hasilnya kalau diceritain ke orang, ya lo harus deal with it yourself.
Dan yang pasti, susah banget. Cara kerja kayak gitu tuh susah."
"Pokoknya, Del, dan untuk semua-semua yang baca ini, jangan pernah bilang nggak. Jangan pernah bilang nggak bisa. Atau kayak ngegumam 'Duh susah deh' soalnya itu udah kayak komando untuk ngebatesin otak lo untuk nggak bisa berimajinasi dan berbuat lebih."
"Misalkan mau kasih tau orang pun Del, yang deket aja."
"Kalau 'Duh gue nggak bisa dapetin dia soalnya dia udah punya pacar' ITU GIMANA FAR TOLONG DIJAWAB."
"Andi gue bukan Mamah Dedeh. Gue nggak berniat membicarakan percintaan untuk sekarang. Halah."
"Bentar Adella benerin antena dalem dulu.
Ayo lanjutin yang tadi."
"Hajar."
"Hajar apanya?"
"Topik kita."
"Madam Farisa tolong lanjutkan. Gue mengamati kalian saja."
"Jadi kerja tanpa dukungan itu susah?"
"Menurut looo? Ya susahlah."
"Selama ini gue independen."
"Gue aja walaupun tahan banting gini sampe-sampe kamar hostel nelepon Nyokap mewek-mewek. Perlu dukungan, Del. Susah jalan sendiri."
"Independen dalam karya lo sih emang harus. Tapi kalau dalam dukung-mendukung, yang ngasih semangat, nggak mungkin lo sendiri. Kita ini zoon politicon."
"Gue nggak bilang impossible sih mau jalan sendiri. Possible, tapi susah."
"Kan habluminannas, Del. Emang setiap orang nggak bisa sendiri."
"Tuh dengerin ustadzah Dije!"
"Eh beneran Indir ngomong gue ngakak."
"KAN.
"Gue dikit-dikit sedih, dikit-dikit down, meweknya ke Nyokap. Gue emang jarang mewek depan orang. Kalau lagi sendirian aja baru, sepuasnya meweeek."
"Tapi apa nggak keliatan lemah, Yas?"
"Ini masalahnya; kita sama, Del. Nggak mau keliatan lemah di depan orang. Makanya gue mewek sendirian."
"Meweknya kalau nggak ada orang, Del."
"Iya itu mah sering, Far. Sering Yas kayak gitu."
"Seenggaknya lo ada Andi, Del."
"..."
"Gue nggak pernah nangis sama Andi. Ya, Ndi?"
"Gue sering nangis depan temen. Beda-beda sih ya orang."
"Kecuali sangat terdesak dan nggak ada pilihan lain baru deh nangis di depan umum.
Emang pada nggak curhat sama Nyokap masing-masing apa?"
"Nggak Yas, gue ngerasa aneh malah."
"Gue nggak dididik kayak gitu, Yas."
"Tah eta."
"Makanya, Del. Maksud gue sih, boleh kerja sendiri, jadi mandiri. Tapiii, pasti ada saatnya lo kesusahan dan perlu bantuan. Jangan takut minta pendapat atau masukan. Terserah siapa aja orang yang lo bisa percaya."
"Betul Ayas. Aku kepadamu."
"Kalau ada yang dipercaya tapi dia nggak ngerti masalah kita? Maksudnya dia nggak ngerti harus ngasih pendapat gimana karena bukan bidang dia?"
"Lo ngomongin Andi ya?"
"..."
"Lo curhat ke yang udah pengalaman."
"Ya cari yang sebidang."
"Si orang-yang-lebih-berpengalam itu."
"Dia lagiii."
"Yang berpengalaman dia doang."
"Ya Tuhaaan. Maksudnya berpengalaman bukan berarti yang udah rilis buku dua kali! Belum tentu dia rilis buku dua kali tapi berpengalaman."
"Ya udah rilis buku kan berarti udah berpengalaman, Yas!"
"Jangan liat orang berpengalaman dari segi kesuksesan, Del! Orang yang bolak-balik gagal justru lebih berpengalaman! Berpengalaman di sini maksudnya yang wise, Del."
"Oh Adella! Temen gue juga banyak yang suka ikut-ikut lomba novel, mau dikenalin? Sharing-sharing gitu."
"Kalau nggak ikut komunitas aja, Del. Ada nggak?"
"Ini lagi malah nawarin orang baru."
"Nggak ada salahnya lo sharing sama temennya Farisa atau om-nya."
"Di Kaskus kan banyak, Del."
"Malu, bok. Tengsin."
"Ah Adella. Lu udah 17 tahun hidup di bumi."
"18."
"18 malah. Terbuka Del, terbuka."
"Toh dari sharing juga pasti ada keselip-selip hasil pengalaman yang bisa bantu elo ke depannya, Del."
"Pasti males adaptasi lagi ya."
"Mereka nggak bisa liat muka lu ini, Del."
"Dulu gue juga tengsin, Del. Tapi sumpah, ilangin tuh tengsin ke laut. Kalau tengsin terus nggak bisa belajar hidup deh, Del."
"Tengsin nggak membuahkan apa-apa."
"Sumpah perasaan Adella paling tua deh di antara kita."
"Iyaaa, benar."
"Ah umur tidak mewakilkan segalanya."
"Sadar dong udah mau kuliah, udah dewasa. Harus udah ngerti dan siap di dunia nyata. Kalian juga nih selain Adella. SADAR WOY, UMUR 18 MASA MASIH BOCIL BANGET SIH."
"Tuh sadar, Ndi. Sadar, Far. Sadar, Del."
"Gue ngerti dunia, dan dunia itu keras. Kalau gue tiba-tiba terjun pasti ada kan orang-orang yang... yang rese lah istilahnya."
"Itu mah pasti, Deeel."
"Lo siap nggak nanggepin orang rese? Bakalan masih maju nggak kalau diresein orang?"
"Tuh, Del. Kalau menurut gue ya, lebih baik lo gagal tapi udah nyoba daripada gagal tanpa mencoba."
"Justru harusnya orang-orang rese itu yang bisa bikin lo lebih maju."
"Kalau diresein dikit udah ngumpet mah apa gunanya. Ngertiin dunia nyata."
"Yang penting coba dulu. Sumpah masih ada kita di sini kalau lo butuh. Kalau ada yang bikin lo down, kita siap kok bikin lu enakan seenggaknya."
"Kalau lo down kita bisa ngomongin *sebagian teks hilang*. Biar lo happy."
"HAHAHA."
"Orang-orang rese itu menurut gue yang jadi bikin semangat. Pas lo down, inget kalau lo masih harus ngebuktiin ke orang-orang rese itu kalau lo bisa."
"SETUJU, FAAAR."
"Iya, gue ngerti."
"Nih ye, Nyokap gue yang bilang ke gue: 'Kalau ada yang rese, nggak usah disebelinlah, nggak usah diresein balik. Lawan aja dengan buktiin kalau kamu masih bisa maju walaupun diresein. Toh akhirnya mereka yang malu juga udah ngeresein kamu."
"Quote of the daaay!"
"Ni kalau udah diceramahin masih nggak ngerti, gue nggak tau lagi deh."
"So, lu udah diceramahin panjang lebar gini... Ayo semangat ya, Del."
***
Seperti yang bisa dilihat, itu adalah kumpulan chatting-satu-malam gue dengan para kampret di grup entah-harus-nyebutnya-grup-apa. Entah kenapa enak banget manggil orang kampret, apalagi orang yang paling disayang. Jadi taraf kasih sayang gue yang paling tinggi adalah orang yang mau lagi seneng, lagi kesel, lagi boker selalu gue katain kampret atau bangke. Termasuk kamu, iyaa kamuuu.
Ya Tuhan, ampuni Dodit Mulyanto dan jokes-nya yang masih nempel di otak.
The point is, gue waktu itu lagi berusaha minta ide cerita ke kawan-kawan seperjuangan gue ini di grup Line. Emang setelah ada isu anak-anak Supat mau ngadain bukber, grup kita bersembilan jadi tambah rame (yang dibuat Farisa waktu Ayas ngundang kita ketemuan, FYI). Kita ngegosipin segala sesuatunya di grup sialan itu. Sampe-sampe pernah suatu malam yang dingin, di rumah gue lagi mati lampu. Gue tiduran di samping Nyokap yang lagi Facebook-an. Dan tiba-tiba badan gue berguncang-guncang. You know kan kalau orang ketawa ngakak tapi nggak bisa ngeluarin suara, akhirnya energi ketawanya itu mengalir dari mulut ke pundak, terus akhirnya pundak kalian naik-turun kayak jin abis nelen anak. Ya kayak gitu. Gue ketawa ngakak gegara para kampret itu ngomongin 'hal-hal tabu yang tidak bisa gue beberkan di sini karena bisa-bisa blog gue di-block sama pihak berwenang'. Kalaupun gue maksa cerita di sini, kalian nggak bakal ngerti bagian lucunya dimana. Karena emang nggak lucu. Cuma... lutju.
Aduh, salah fokus lagi. Sampe mana tadi? Oh iya, minta ide. Iya, kebetulan beberapa hari itu gue lagi pengen ngerjain sesuatu yang berguna bagi nusa dan bangsa. Kebetulan gue liat di internet ada lomba bikin novel komedi gitu dari Bukune. Yaudah kan karena lagi ada niat, akhirnya gue coba mulai bikin (agak nekat juga sih ya karena deadline-nya itu kurang-lebih sebulan lagi). Pas buka word, kok nge-blank? Ah, gue harus nyari ide, kata Adella dalam hati. Alhasil gue iseng chat anak-anak itu. Awalnya pertanyaan gue dijawab, tapi pada nggak bener jawabnya. Yaudah, gue maklumin. Mungkin mereka belum minum obat. Terus akhirnya ngobrol-ngobrol lagi aja kita, ngobrol nggak jelas. Sampai suasana udah lumayan damai, gue tanyain lagi tuh ke mereka. Dan tiba-tiba si Andi ngomongin temennya yang beli sebuah novel yang katanya bagus, terus tiba-tiba nyambung ke masalah asmara gue, terus gue harus menjelaskan panjang-lebar ke Ayas karena dia tidak tahu apa-apa, terus akhirnya muncullah kalimat yang jadi judul postingan ini.
Huft.
Gimana ya ngejelasinnya? Ya semua udah dijelasin sih di percakapan di atas. Sebenernya inti dari gue nulis postingan ini adalah, bahwa... sekeras apapun gue menanamkan pada diri gue untuk bekerja sendiri (tanpa mengeluhkan apa-apa ke orang, atau memperlihatkan kesulitan gue, atau yah mungkin seperti ngedumel sendiri di Twitter dan mendapat reply yang banyak dari temen-temennya yang mencoba menyemangati dia dengan emoticon :') ) gue tetep nggak bisa kerja sendiri. Maksudnya kerja sendiri ya kerja tanpa ada orang di sekitar lo gitu. Nggak ada yang tau lo ngapain, nggak ada yang tau lo mau gimana, pokoknya nggak tau apa-apa deh. Dan seperti yang Ayas bilang, kerja tanpa dukungan itu susah unless lo bisa tau-tau berhasil gitu. Gue jujur aja sempet mau kayak gitu. Karena gue merasa udah di ujung ke-desperate-an, gue mau mengambil keputusan untuk berusaha sendiri terus nanti tiba-tiba kerjaan gue kelar. Eh ternyata nggak bisa. Bener kata Ayas, yang kayak gitu mungkin bisa, tapi susah.
Hasilnya gue dimarahin karena selama ini gue nggak menganggap mereka ini sebagai sumber dukungan. Ya, memang selama ini gue nggak pernah menganggap mereka sebagai pendukung setia gue karena gue pikir, ah orang-orang ajaib ini bisa apa? Bisa gila? Jelas. Bisa kayang? Mungkin. Bisa mendukung? Hm. Karena... apa ya? Gini deh mungkin kalau diistilahin begini: yang nggak keliatan justru yang nyata, sedangkan yang sering keliatan justru nggak nyata. Gimana? Kurang bisa dicerna ya? Aduh.
Oke, oke, serius nih gue. Umh... Selama ini, gue nggak pernah terpikir sedikitpun minta dukungan temen-temen SD gue karena faktor jauh di mata ya jauh di hati juga. Gue jarang curhat sama mereka (kecuali Andi kayaknya), kalaupun ngobrol ya ngobrolin hal-hal nyeleneh, nggak pernah serius. Akhirnya gue pikir, oke mereka-mereka ini adalah teman-teman untuk mengeluarkan sisi gila gue. Kalau gitu gue harus nyari orang yang nyata, yang bisa gue ajak ngobrol serius. Dan pemikiran itu membawa gue ke orang-orang di lingkungan sekolah yang ternyata, tidak sebagus yang gue kira.
Bukannya gue mau bilang orang-orang di sekolah nggak pernah membantu gue atau mendukung gue. Pernah, tapi nggak masuk ke diri gue. Jadinya gue nge-stuck atau cuma jalan sedikit-sedikit. Kalau dibikin perbandingan, orang-orang di sekolah mendukung gue dengan cara... yang halus gitu. Mereka bilang gue bisa, gue harus coba, dan lain sebagainya. Sedangkan para kampret ini, dengan hinanya mereka marah-marahin gue, nasehatin gue dengan kalimat-kalimat yang buat gue itu udah termasuk keras. Mungkin, mungkin ya, mungkin karena orang-orang di sekolah itu kan sama kayak gue tingkatannya, sementara orang-orang kampret ini ada yang udah duluan sekolahnya daripada gue, ada yang udah magang, jadi udah lumayan ngertilah masalah-masalah pelik kayak gini.
Setelah pembicaraan panjang-lebar dengan mereka, gue tiba-tiba sadar kalau ternyata di samping gue ada mereka berdelapan ini. Dan selama ini gue nggak menyadarinya. Gue terlalu sibuk sendiri, mikirin kenapa orang-orang terdekat gue nggak ada yang bisa bantu gue, nggak ada yang ngerti problematika yang gue alami. Padahal ya emang kurang tepat aja konsultasi sama orang yang sama-sama lagi berjuang kayak lo.
Dari chat di atas, gue kembali sadar bahwa manusia nggak mungkin bisa sendiri. Manusia butuh dukungan, sekecil apapun. Apalagi dalam hal meraih apa yang dicita-citakan. Setelah gue baca-baca ulang segala nasehat-nasehat yang dikasih mereka, gue jadi merasa seperti anak ingusan yang baru kejedot pintu masuk dunia tapi udah kesakitan setengah mati.
Bentar, interupsi sebentar. ANJRIT MEN ANALOGI GUE KEREN BANGET.
Oke, lanjut. Gue kayak bocah yang nggak tau apa-apa, yang lemah, yang bingung harus apa, kemudian gue didatangi orang-orang dari bagian dunia lain (bukan, bukan dunia lain yang suka kesurupan itu). Padahal jelas di antara mereka, gue yang paling tua. Dan jelas pula pernyataan Andi bahwa umur tidak mewakilkan segalanya. Gue boleh paling tua, tapi kalau soal pengalaman? Tau apa gue? Selama ini gue diem aja di depan pintu, nungguin ada yang mau bukain pintu buat gue. Padahal harusnya gue lah yang membuka pintu itu, dan orang lain yang men-support gue buat ngebuka pintu itu. Itulah kenapa kalau gue sendirian di depan pintu itu, dan di kanan-kiri gue nggak ada yang ngebisikkin "Buka tuh pintu sekarang, Kampret!", gue nggak akan pernah bergerak.
Anyway, sejak diceramahin panjang-lebar sama mereka, gue jadi dapet ide cerita buat yah siapa tau bisa jadi film pendek. Judulnya panjang, jadi gue males nulisnya. Ceritanya sih tentang mereka berdelapan itu. Ya gue emang berniat mempersembahkan karya gue buat mereka, karena mereka telah berkontribusi dalam pahit-asemnya pra-produksi pembuatan naskah itu. Menurut gue mereka sangat layak diberikan itu.
Untuk teman-teman yang lain, bagaimana? Tenang. Gue udah menyiapkan sebuah postingan untuk mereka yang berkontribusi selama gue hidup di masa remadja alias SMA. Mungkin setelah postingan ini, ya tungguin aja.
Sekian postingan ini gue sudahi. Sekali, terima kasih mz-mz tercinta, tidak kusangka kalianlah bagian terbaik dari hidupku yang Alhamdulillah baik-baik saja. Semoga kelak kita bisa menjadi orang yang lebih baik, juga menjadi ibu yang baik, istri yang baik, serta nenek yang baik. Semoga kalian mau menyempatkan diri untuk menceritakan aib-aib kita kepada anak-anak kalian. Sekali lagi, terima kasih. This girl is on fire now.
Seperti yang bisa dilihat, itu adalah kumpulan chatting-satu-malam gue dengan para kampret di grup entah-harus-nyebutnya-grup-apa. Entah kenapa enak banget manggil orang kampret, apalagi orang yang paling disayang. Jadi taraf kasih sayang gue yang paling tinggi adalah orang yang mau lagi seneng, lagi kesel, lagi boker selalu gue katain kampret atau bangke. Termasuk kamu, iyaa kamuuu.
Ya Tuhan, ampuni Dodit Mulyanto dan jokes-nya yang masih nempel di otak.
The point is, gue waktu itu lagi berusaha minta ide cerita ke kawan-kawan seperjuangan gue ini di grup Line. Emang setelah ada isu anak-anak Supat mau ngadain bukber, grup kita bersembilan jadi tambah rame (yang dibuat Farisa waktu Ayas ngundang kita ketemuan, FYI). Kita ngegosipin segala sesuatunya di grup sialan itu. Sampe-sampe pernah suatu malam yang dingin, di rumah gue lagi mati lampu. Gue tiduran di samping Nyokap yang lagi Facebook-an. Dan tiba-tiba badan gue berguncang-guncang. You know kan kalau orang ketawa ngakak tapi nggak bisa ngeluarin suara, akhirnya energi ketawanya itu mengalir dari mulut ke pundak, terus akhirnya pundak kalian naik-turun kayak jin abis nelen anak. Ya kayak gitu. Gue ketawa ngakak gegara para kampret itu ngomongin 'hal-hal tabu yang tidak bisa gue beberkan di sini karena bisa-bisa blog gue di-block sama pihak berwenang'. Kalaupun gue maksa cerita di sini, kalian nggak bakal ngerti bagian lucunya dimana. Karena emang nggak lucu. Cuma... lutju.
Aduh, salah fokus lagi. Sampe mana tadi? Oh iya, minta ide. Iya, kebetulan beberapa hari itu gue lagi pengen ngerjain sesuatu yang berguna bagi nusa dan bangsa. Kebetulan gue liat di internet ada lomba bikin novel komedi gitu dari Bukune. Yaudah kan karena lagi ada niat, akhirnya gue coba mulai bikin (agak nekat juga sih ya karena deadline-nya itu kurang-lebih sebulan lagi). Pas buka word, kok nge-blank? Ah, gue harus nyari ide, kata Adella dalam hati. Alhasil gue iseng chat anak-anak itu. Awalnya pertanyaan gue dijawab, tapi pada nggak bener jawabnya. Yaudah, gue maklumin. Mungkin mereka belum minum obat. Terus akhirnya ngobrol-ngobrol lagi aja kita, ngobrol nggak jelas. Sampai suasana udah lumayan damai, gue tanyain lagi tuh ke mereka. Dan tiba-tiba si Andi ngomongin temennya yang beli sebuah novel yang katanya bagus, terus tiba-tiba nyambung ke masalah asmara gue, terus gue harus menjelaskan panjang-lebar ke Ayas karena dia tidak tahu apa-apa, terus akhirnya muncullah kalimat yang jadi judul postingan ini.
Huft.
Gimana ya ngejelasinnya? Ya semua udah dijelasin sih di percakapan di atas. Sebenernya inti dari gue nulis postingan ini adalah, bahwa... sekeras apapun gue menanamkan pada diri gue untuk bekerja sendiri (tanpa mengeluhkan apa-apa ke orang, atau memperlihatkan kesulitan gue, atau yah mungkin seperti ngedumel sendiri di Twitter dan mendapat reply yang banyak dari temen-temennya yang mencoba menyemangati dia dengan emoticon :') ) gue tetep nggak bisa kerja sendiri. Maksudnya kerja sendiri ya kerja tanpa ada orang di sekitar lo gitu. Nggak ada yang tau lo ngapain, nggak ada yang tau lo mau gimana, pokoknya nggak tau apa-apa deh. Dan seperti yang Ayas bilang, kerja tanpa dukungan itu susah unless lo bisa tau-tau berhasil gitu. Gue jujur aja sempet mau kayak gitu. Karena gue merasa udah di ujung ke-desperate-an, gue mau mengambil keputusan untuk berusaha sendiri terus nanti tiba-tiba kerjaan gue kelar. Eh ternyata nggak bisa. Bener kata Ayas, yang kayak gitu mungkin bisa, tapi susah.
Hasilnya gue dimarahin karena selama ini gue nggak menganggap mereka ini sebagai sumber dukungan. Ya, memang selama ini gue nggak pernah menganggap mereka sebagai pendukung setia gue karena gue pikir, ah orang-orang ajaib ini bisa apa? Bisa gila? Jelas. Bisa kayang? Mungkin. Bisa mendukung? Hm. Karena... apa ya? Gini deh mungkin kalau diistilahin begini: yang nggak keliatan justru yang nyata, sedangkan yang sering keliatan justru nggak nyata. Gimana? Kurang bisa dicerna ya? Aduh.
Oke, oke, serius nih gue. Umh... Selama ini, gue nggak pernah terpikir sedikitpun minta dukungan temen-temen SD gue karena faktor jauh di mata ya jauh di hati juga. Gue jarang curhat sama mereka (kecuali Andi kayaknya), kalaupun ngobrol ya ngobrolin hal-hal nyeleneh, nggak pernah serius. Akhirnya gue pikir, oke mereka-mereka ini adalah teman-teman untuk mengeluarkan sisi gila gue. Kalau gitu gue harus nyari orang yang nyata, yang bisa gue ajak ngobrol serius. Dan pemikiran itu membawa gue ke orang-orang di lingkungan sekolah yang ternyata, tidak sebagus yang gue kira.
Bukannya gue mau bilang orang-orang di sekolah nggak pernah membantu gue atau mendukung gue. Pernah, tapi nggak masuk ke diri gue. Jadinya gue nge-stuck atau cuma jalan sedikit-sedikit. Kalau dibikin perbandingan, orang-orang di sekolah mendukung gue dengan cara... yang halus gitu. Mereka bilang gue bisa, gue harus coba, dan lain sebagainya. Sedangkan para kampret ini, dengan hinanya mereka marah-marahin gue, nasehatin gue dengan kalimat-kalimat yang buat gue itu udah termasuk keras. Mungkin, mungkin ya, mungkin karena orang-orang di sekolah itu kan sama kayak gue tingkatannya, sementara orang-orang kampret ini ada yang udah duluan sekolahnya daripada gue, ada yang udah magang, jadi udah lumayan ngertilah masalah-masalah pelik kayak gini.
Setelah pembicaraan panjang-lebar dengan mereka, gue tiba-tiba sadar kalau ternyata di samping gue ada mereka berdelapan ini. Dan selama ini gue nggak menyadarinya. Gue terlalu sibuk sendiri, mikirin kenapa orang-orang terdekat gue nggak ada yang bisa bantu gue, nggak ada yang ngerti problematika yang gue alami. Padahal ya emang kurang tepat aja konsultasi sama orang yang sama-sama lagi berjuang kayak lo.
Dari chat di atas, gue kembali sadar bahwa manusia nggak mungkin bisa sendiri. Manusia butuh dukungan, sekecil apapun. Apalagi dalam hal meraih apa yang dicita-citakan. Setelah gue baca-baca ulang segala nasehat-nasehat yang dikasih mereka, gue jadi merasa seperti anak ingusan yang baru kejedot pintu masuk dunia tapi udah kesakitan setengah mati.
Bentar, interupsi sebentar. ANJRIT MEN ANALOGI GUE KEREN BANGET.
Oke, lanjut. Gue kayak bocah yang nggak tau apa-apa, yang lemah, yang bingung harus apa, kemudian gue didatangi orang-orang dari bagian dunia lain (bukan, bukan dunia lain yang suka kesurupan itu). Padahal jelas di antara mereka, gue yang paling tua. Dan jelas pula pernyataan Andi bahwa umur tidak mewakilkan segalanya. Gue boleh paling tua, tapi kalau soal pengalaman? Tau apa gue? Selama ini gue diem aja di depan pintu, nungguin ada yang mau bukain pintu buat gue. Padahal harusnya gue lah yang membuka pintu itu, dan orang lain yang men-support gue buat ngebuka pintu itu. Itulah kenapa kalau gue sendirian di depan pintu itu, dan di kanan-kiri gue nggak ada yang ngebisikkin "Buka tuh pintu sekarang, Kampret!", gue nggak akan pernah bergerak.
Anyway, sejak diceramahin panjang-lebar sama mereka, gue jadi dapet ide cerita buat yah siapa tau bisa jadi film pendek. Judulnya panjang, jadi gue males nulisnya. Ceritanya sih tentang mereka berdelapan itu. Ya gue emang berniat mempersembahkan karya gue buat mereka, karena mereka telah berkontribusi dalam pahit-asemnya pra-produksi pembuatan naskah itu. Menurut gue mereka sangat layak diberikan itu.
Untuk teman-teman yang lain, bagaimana? Tenang. Gue udah menyiapkan sebuah postingan untuk mereka yang berkontribusi selama gue hidup di masa remadja alias SMA. Mungkin setelah postingan ini, ya tungguin aja.
Sekian postingan ini gue sudahi. Sekali, terima kasih mz-mz tercinta, tidak kusangka kalianlah bagian terbaik dari hidupku yang Alhamdulillah baik-baik saja. Semoga kelak kita bisa menjadi orang yang lebih baik, juga menjadi ibu yang baik, istri yang baik, serta nenek yang baik. Semoga kalian mau menyempatkan diri untuk menceritakan aib-aib kita kepada anak-anak kalian. Sekali lagi, terima kasih. This girl is on fire now.
No comments
Post a Comment