Monday, May 11, 2015

El Jomblo

(baca: el homblo)

Jadi gue baru saja bernostalgia dengan menonton kembali film favorit sepanjang 19 tahun gue hidup; Jomblo. Sedikit tentang asal-muasal filmnya, ini adaptasi novelnya mas Adhitya Mulya, salah satu penulis yang gaya nulisnya gue sukak (pake k) banget dan selalu gue jadikan pedoman tiap kali gue nulis. Apalagi setelah gue baca dua novel lainnya yang ternyata gaya komedinya khas banget. He does have a good sense of humor. Like me. Ehe.




Gue lupa apakah gue baca novelnya dulu terus baru nonton filmnya atau sebaliknya. Di novelnya tercatat gue beli tanggal 1 September 2007, sekitar delapan tahun yang lalu, umur gue 11 dan gue udah baca novel dewasa. Sekarang kita semua tau darimana asalnya pikiran-pikiran nyeleneh yang selama ini bersemayam di otak gue (lucunya, beberapa halaman di novel itu yang menceritakan adegan panas di club malah hilang, jadi sampai sekarang gue nggak tau bagian cerita yang 'itu'). Gue inget banget waktu SD, si Gita bagi-bagiin semacam merchandise dari film Jomblo. Waktu itu ada gelang, stiker (yang sayangnya gue tempel di meja belajar gue dulu dan sekarang udah nggak ada), dan kalau nggak salah ada beberapa benda lainnya cuma gue lupa. Kenapa gue inget gelang, karena gelangnya selalu gue pake dengan bangga. Iya, gue juga nggak ngerti gimana jalan pikiran gue pada saat itu.

Setelah film itu, istilah 'jomblo' jadi jargon gue dan teman-teman kampret lainnya. Dulu kami pernah bikin geng yang namanya ada jomblo-jomblonya. Seolah-olah jomblo adalah sesuatu yang membanggakan tapi ya emang bangga sih, apalagi setelah nonton film itu. Mungkin, kalau dari gue pribadi, karena film Jomblo adalah film terkeren dan terlucu yang gue tonton waktu itu. Jadi setelah nonton, gue jadi terobsesi buat jadi jomblo.

Tapi terlepas dari semua itu, percayalah, dulu, jadi jomblo itu keren.

Bagaimana gue akhirnya men-download ilegal filmnya itu karena Tya nggak mau minjemin DVD Jomblo-nya yang asli. Lebih tepatnya sih dia nggak mau nyari DVD-nya karena udah nggak tau ditaro di mana. Karena nggak sabar, akhirnya gue--sungguh dengan berat hati--download filmnya di Youtube. Gue heran sama mereka yang bisa masukkin film berdurasi satu jam lebih ke Youtube. Bukan gimana lamanya nunggu upload-an, tapi gimana dia bisa dapet film utuhnya dan kenapa dia baik banget mau masukkin filmnya ke Youtube.

Seperti membaca ulang sebuah novel, selalu ada bagian yang dulu nggak kita notice dan sekarang jadi ngena banget. Gue masih inget beberapa adegan utama di film Jomblo seperti Bimo ketemu Hanoman, Agus ketemu Rita, Olip lututnya bergetar pas kenalan sama Asri, dan Christian Sugiono yang masih ganteng sebelum menikah sama Titi Kamal. Tapi ternyata pas tadi gue nonton lagi filmnya, ada bagian yang gue sama sekali nggak ngeh kalau itu ada.

Salah satunya adalah obrolan Agus dengan Rita. I cried when Rita told Agus about their relationship, about how they have to be as a couple, how to not giving up on each other, how to--oke cukup sampai di sini karena masih banyak hal penting lainnya yang bisa kita bahas bersama. Ya intinya gitu. Gue nangis men, tapi nangisnya tuh nangis yang gregetan gitu, kenapa sih dialognya bisa se-simple itu but yet very deep? Kenapa si Rita ngomongnya meuni tenang pisan gituh? Kenapa? Kenapa? Kenapa, Mas Salman, kenapa???

Gue mulai ngerti keseluruhan jalan cerita film Jomblo sekitar setahun yang lalu. Waktu itu gue baca ulang novelnya dan ya kayak filmnya aja, ada bagian-bagian yang nggak gue perhatikan dan ternyata meaningful banget at that time. It feels like, the novel/film is predicting what'll happen eight years later. Ya walaupun pada dasarnya waktu gue pertama kali baca, gue masih kecil sementara si penulisnya udah berkeluarga. They did have a lot more experiences than I have. Dan setelah delapan tahun, gue baru bisa menyamakan pengalaman gue dengan si novel itu. It's always fun to figuring out something that you didn't know before. Di sisi lain lo jadi nggak ngerasa sendirian menghadapi problem hidup karena ternyata, orang lain juga pernah ngerasain. It's all about experience, people's experience. I agree that our experience is the best teacher but yet, others' are also can be a good teacher.

Wah, keliatannya gue mulai ngelantur. Gue (lagi-lagi) terlalu menyamakan cerita fiksi dengan realita. But hey, bikin cerita itu emang harus ada moral lesson-nya supaya kita, selain menghibur, juga bisa ngajak pembaca untuk jadi manusia yang lebih baik.

.
.
.
.
.

BANGSAT, DEL, KATA-KATA LO KEREN ABEZ, COOOYYY.

Gimana? Udah cocok kan jadi penulis?

So, Jomblo itself (now) has told me about... how does love actually work. Love can come. Love can choose. Love cannot wait. Love has no logic. Love... love... ah, too much 'love' words dan gue mulai mual nulisnya. Yah, intinya sih gue seneng banget akhirnya bisa nulis satu postingan dengan lancar jaya tanpa ada keraguan sedikitpun di setiap kalimatnya. Setelah sekian lama dan sekian banyak drafts (ada enam, FYI) yang menunggu untuk diselesaikan, akhirnya draft ketujuh ini bisa gue posting. Gue pengen terharu tapi gue lagi laper. (?)


Well, satu hal penting yang bisa gue ambil dari film itu adalah,

sendiri itu indah.  

No comments

Post a Comment

© based on a true story.
Maira Gall