Thursday, September 10, 2015

Cerita Malang: Tidak Ada yang Normal di Malam Hari

Jadi,

sebelumnya aku mau minta maaf lagi atas kelalaian dan kemalasanku untuk menulis cerita perjalananku di Malang. Kuakui hati ini jadi hilang kendali~ Nggak deng. Gue sebenernya udah ada mood untuk nulis, cuma nggak tau kenapa tiap buka draft blog gue malah bengong. Terus ke-distract sama media sosial lain seperti Instagram (yang sepertinya akan jadi musuh besar blog gue karena gue lebih keranjingan nge-post foto dibanding nge-post tulisan). Ah, ternyata diam-diam aku diperbudak sama media sosial.

Anyway, gue berencana bikin post-post ini dengan konsep per segmen. Itupun kalau rampung hahaha. Pokokya gue akan berusaha semaksimal mungkin menghilangkan rasa rindu kalian membaca tulisan gue walaupun gue tau nggak ada yang rindu apalagi nungguin tapi, yah, sedikit percaya diri nggak ada salahnya kan? Hkhkhk.

Cerita Malang pertama akan gue mulai dengan perjalanan panjang di atas kereta ekonomi yang...


Perjalanan ke Malang ini adalah perjalanan pertama kita sebagai anak kampus. Setelah ngulur-ngulur sana-sini, minta izin dan segala macem, akhirnya kita jadi beli tiket, pesen penginapan, dan packing. Fyi, kita beli tiket kereta di Sevel. Ya, karena kami anak gaul. Nggak lah. Karena kebetulan di deket kampus ada Sevel dan bisa sekalian beli tiket di situ, ya kita beli lah. Penginapan juga udah dipesan dan tanggal 25 kita berangkat.

Malam sebelumnya, gue udah homesick duluan.

Gue tiduran dan ngebayangin apa rasanya pergi jauh dari rumah selama seminggu? Gimana kalau nanti di sana jadi chaos terus kita semua mencar cari tempat tinggal sendiri? Oke, ini terlalu ekstrem. Intinya gue langsung ngerasa nggak enak gitu ninggalin rumah. Ah. Sekarang aku tau kenapa aku nggak dapet universitas negeri. HAHAHA.

Besok siang gue berangkat. Total barang bawaan yang gue bawa adalah tiga tas: ransel penuh berisi baju, tote bag berisi makanan ala kadarnya, dan tas kamera yang tentunya berisi kamera bukan anak jin. Dari kita berlima, sepertinya yang paling ringan bawaan cuma gue dan Nadhira. Sisanya bawa koper. Apalagi Tya yang kebetulan baru pulang dari Singapore. Kopernya segede alaihim gambreng. Tapi itu tidak menyurutkan semangat Tya untuk tetap melanjutkan perjalanan, bukan begitu Tyaaa?

Keretanya sudah tiba~
Begitu kereta dateng, orang-orang langsung pada nyerbu. Oh iya, waktu itu keretanya telat setengah jam karena sehari sebelumnya ada kereta yang anjlok. Yang kita naikin ini kereta Matarmaja. Kita berusaha santai dulu, tunggu udah agak sepi baru naik ke kereta. Nyampe di dalem lagi pada sibuk masukkin barang. Terus langsung jalan nyari tempat duduk sesuai yang ada di tiket.

Pas udah nyampe di tempat duduk kita, ternyata udah rame gitu sama mbak-mbak sebaya. Sebagai anak kota yang baik dan sopan, gue tanyalah,

"Mbak ini nomor 11-12?"

"Iya."

"Kita di sini, guys."

Tapi kok si mbak-mbak ini tetep sibuk ngurusin barang-barang mereka? Mereka salah, gaes, mereka salah! Ini tempat duduk kita! Kita harus memperjuangkan tempat duduk kita! Kita harus memperjuangkan hak-hak kita! Uwoh!

"Mbak, mbak-nya kursi nomor berapa?" tanya kita.

"Ini, 11-12."

"Loh, kita juga 11-12, Mbak." Kamu salah, Mbak, kamu salah!

"Coba liat peron berapa,"

Loh.

Loh eh leh oh loh eh.

"Tiket mana tiket, gaes. Liat kita peron berapa."

Ternyata,

kita salah peron.

***

Inti dari perjalanan pertama naik kereta ekonomi ke luar kota yang jaraknya 9000++ kilometer jauhnya, bener-bener berasa panjaaaaang banget. Asal kalian tau, kereta ekonomi emang pake AC, tapi AC rumah. Dan gue duduk pas banget kena AC. Aku menggigil, aku kedinginan, aku membeku, aku tak bisa apa-apa selain berdoa agar segera datang kehangatan yang akan menyelamatkanku dari dinginnya dunia ini. Nggak deng. Aku nggak selemah itu. Yaaa tapi lumayan ya 16 jam kepala kena dingin AC pas banget depan komuk gaes ya ampun. Aku nggak bisa tidur selama di kereta sementara duo pelor udah bablas tidur duluan. (*duo pelor: Dhila dan Tya)

Gue, Nadhira, dan Ratih yang sama-sama nggak bisa tidur akhirnya berusaha membunuh waktu dengan:

1. Cerita-cerita apapun yang bisa kita ceritain. Sekedar ngomongin masalah kartun jaman dulu dan hal-hal nggak penting lainnya. Ini masih normal.

2. Pergi ke toilet. Lumayan untuk ngelurusin kaki sejenak. Ini juga masih normal.

3. Selanjutnya malam makin liar dan kami sudah mulai berhalusinasi. Apalagi gue yang masih kena kipas AC. Tiba-tiba setelah gue mencoba untuk tidur tapi gagal, Ratih mencetuskan ide untuk main games sambung kata.

"Kayak gimana, Tih?"

"Iya, jadi misalnya gue bikin kata 'aku', nanti lo sambung sampe jadi cerita."

"Oooh!" Kita langsung semangat 45.

Dan permainan sambung kata pun dimulai.

Ini adalah contoh dari permainan sambung kata yang kita mainkan waktu itu. Sebagian ada yang nggak sesuai sama kejadian asli karena udah rada lupa ngomong apaan aja tapi kurang lebih konsep permainannya seperti ini.

"Aku

"Pergi

"Ke

"Sebuah

"Tempat

"Bersama

"Bapak

"Lutfiah

"Yang

"Ternyata

"Adalah

"Seorang

"Kapiten

"HUAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA. Lanjut, lanjut!"

"Seorang kapiten

"Yang

"Mempunyai

"PEDANG PANJANG HUAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA."


Man, it was a very, very long night. *sigh*

No comments

Post a Comment

© based on a true story.
Maira Gall