Monday, October 2, 2017

Prolog

Yang akan gue post di bawah ini adalah tulisan gue sekitar setahun yang lalu. Sebuah curhatan tentang emosi yang dipendam selama kurang lebih dua tahun akhirnya bisa gue tulis dengan rapih dan tanpa kata-kata 'anjing' atau 'bangsat'. Ternyata bener, menulis ketika sedang marah nggak akan menghasilkan tulisan yang baik. Bahkan untuk sebuah amarah yang terpendam lama, butuh waktu dua tahun untuk akhirnya bisa diutarakan dengan cukup baik.

Curhatan ini didedikasikan untuk semua orang yang pernah gue temui sepanjang 21 tahun hidup gue. Curhatan ini (mungkin) akan jadi tulisan terakhir gue seputar tema "teman", karena semenjak beberapa minggu belakangan, gue udah nggak bisa dan nggak tau lagi harus menyampaikan apa dan dengan cara kayak gimana gue harus menyampaikannya. Udah ada banyak pihak yang merasa disakiti sejak itu, hanya karena satu faktor yang ternyata bisa merembet ke semua hal---bahkan ke hal-hal yang udah kependam selama dua tahun kayak tulisan ini (di bawah).

Pada akhirnya gue sadar, kita semua belum cukup dewasa untuk menghadapi hal-hal remeh yang terjadi. Meskipun sebagian pihak merasa lebih legowo dan heroik dengan menerima segala kritikan dan amarah, hal itu nggak membuat mereka lebih dewasa dari gue. Begitupun sebaliknya, ketika gue masih terus membayangi diri gue dengan kejadian-kejadian tai yang udah lewat dua-tiga minggu yang lalu walaupun gue bilang gue udah nggak peduli lagi, maka gue nggak membuat diri gue lebih dewasa dari mereka.

Ini bukan perkara adil-adilan, tapi, kita semua salah. Akuilah. Dari awal sampai akhir semuanya bisa disalahkan. Dan hal ini nggak akan pernah selesai kalau semuanya merasa paling benar. Satu-satunya yang benar dari semuanya adalah kehebatan masing-masing dari kita yang bertahan dalam sebuah hubungan selama tiga tahun, memendam satu dan banyak hal only for the sake of friendship. Kedengerannya klise, but truth to be told, that's my personal reason for whole this time.

Gue pribadi menyesalkan semua yang gue lakukan dan semua yang udah terjadi. Gue sadar, kata 'maaf' nggak akan pernah cukup buat manusia yang selalu menuntut lebih ke manusia lain. Tahun ini gue lebih suka kalimat 'ya udahlah' dibanding kalimat-kalimat lain. Karena pada akhirnya kita semua akan terus berusaha memenangkan ego kita, terlepas dari siapa yang salah dan siapa yang benar. Dan itu semua nggak akan ada habisnya. Sampai kapanpun.

Maka dari itu, gue memilih untuk ber-ya-udahlah-ria sampai gue lulus nanti. Tapi, ber-ya-udahlah-ria bukan berarti gue akan melupakan semuanya. Gue pengen, sayangnya gue nggak punya kekuatan untuk itu. At the very least, yang bisa gue lakukan saat ini adalah mengambil setiap pelajaran dari semua yang terjadi. I may not care about these things anymore (no, man, I'm tired, you're tired, we're all tired) and things have gone differently now. Terima aja, kita pernah senang-senang bareng, sedih-sedih bareng, jalan-jalan bareng, dan---yaudah. That was fun but, enough for that. There will be no more things like that, and that's fine. Seenggaknya masing-masing dari kita udah mengambil sikap yang nyata, yang tanpa embel-embel 'for the sake of bla bla bla'.

Seperti halnya tulisan gue di bawah nanti, prolog yang panjang dan nggak terlalu nyambung sama tulisan di bawah ini (tanpa gue sadari) gue tulis setelah semua kejadian tai itu udah lewat. Selama beberapa hari ini gue selalu mencoba untuk menyampaikan ini lewat tulisan tapi hasilnya jelek banget. Dan akhirnya hari ini bisa gue tulis tanpa perlu pake kata-kata 'anjing' atau 'bangsat'.

So, here's my writing yang tersimpan di draft selama satu tahun dan belum pernah dipublikasikan ke khalayak ramai. Pernah sih gue kasih ke orang tapi cuma satu orang doang tapi---ya udahlah. Enjoy.


***


“Kindness begins with understanding we all struggle.” -Charles Glassman.

Sebuah quotes yang saya temukan di Tumblr seketika menyadarkan saya akan satu hal yang selama ini selalu terngiang di kepala. Hanya saja saya bingung bagaimana mengutarakannya dengan puitis dan penuh makna. Ketika membaca itu, saya kembali mengingat cerita-cerita yang pernah saya dengar dari setiap mulut yang berpapasan dengan saya. Seorang pernah merasa begitu tertekan dengan kondisi di sekitarnya, membuatnya sakit hati hingga ia lebih memilih sakit fisik ketimbang batin. Seorang pernah bercerita sewaktu kecil keluarganya menempanya untuk menjadi kuat, dengan bermain tangan dan segala benda yang bisa dilempar. Seorang berkata bahwa ini adalah masanya orang-orang di sekitarnya untuk mengerti bahwa angka pada usianya sudah tidak kecil lagi. Kedewasaannya terhambat oleh orang-orang dewasa di sekitarnya. Ada juga seorang yang diam saja, mulutnya tidak melontarkan satu patah katapun tapi dari matanya ia bercerita. Ada pula yang senang ngoceh kesana-kemari, tapi diam-diam menghancurkan dirinya sendiri dalam gelap. Orang-orang ini bercerita kepada saya, meski tidak secara langsung kepada saya pribadi. Saya mendengar, melihat, menyaksikan, dan mencerna segala emosi yang dibawa pada masing-masing mereka.

Suatu hari giliran saya yang bercerita. Setelah sekian lama memendam, akhirnya saya menumpahkan semua kejadian yang masih bisa saya ingat kepada telinga seorang teman. Waktu itu saya tahu saya akan dimaki atas kebodohan saya dalam cerita tersebut. Saya tahu itu. Dan bukan itu yang saya harapkan dari orang itu, sebenarnya. Tapi karena saya sudah mempersiapkan diri untuk itu, maka saya terima saja.

Semenjak hari itu, semenjak hari saya membuka pengalaman buruk saya kepada orang lain, saya mulai bertanya: Sebegitu rendahnya kah cerita saya dibanding dia? Sebegitu sepele kah masalah saya dibanding orang lain yang--oke--memang lebih berat ketimbang masalah saya? Lantas, apakah cerita saya tidak layak didengar? Apakah cerita saya harus lebih “waw” dan lebih tragis agar orang-orang menghargai cerita saya? Apakah itu yang harus saya lakukan?

Mungkin cerita tentang saya yang harus mulai membereskan kamar sendiri waktu SMA, memang tidak sehebat cerita teman saya yang sudah dididik untuk rajin bebenah sejak usia sekolah dasar. Mungkin benar, pengalaman ia lebih baik dibanding saya. (Meskipun tujuan saya sewaktu menceritakan itu adalah saya ingin menunjukkan betapa lucunya Ibu saya yang ternyata sudah benar-benar lepas tangan untuk urusan kamar saya.) Biasanya setelah itu saya berpikir, ‘Apa faedahnya saya berbagi kisah saya kalau begitu? Kalau di ujung cerita yang saya dapatkan adalah banding-perbandingan yang seolah-olah membuat pengalaman seru saya tidak ada apa-apanya?’ Saya terus-terusan mengulang pertanyaan sebelumnya, apalagi setelah saya membuka diri saya waktu itu pada teman saya. Ketika itu saya sadar, kisah tahi di masa SMA saya tidak se-tahi miliknya. Saya tahu ia telah menjalani hal yang jauh lebih berat ketimbang saya. Saya paham itu.

Dia berjuang untuk hidupnya. Saya juga berjuang meski tidak sesulit dia. Tapi, apakah perjuangan saya jadi tidak berarti karena adanya perjuangan lain yang lebih dramatis?

Saya selalu ingin menulis tentang hal ini tetapi tidak pernah bisa. Entah karena batin saya yang tidak cukup tangguh atau penuturan saya yang masih kurang apik. Setelah kejadian itu, saya mulai membangun kembali trust issue yang pernah saya buat. Saya tidak lagi berbagi-cerita hal-hal berat dengan teman-teman saya. Saya menjadi terlalu nyaman sebagai pendengar yang baik sekaligus takut untuk mempercayakan cerita saya pada orang lain. Meski saya sudah berada pada titik di mana saya ingin menangis saja sepanjang malam tanpa harus menghadapi hari esok, semuanya saya tahan dalam-dalam. Karena otak saya selalu mengingatkan saya bahwa, ‘ada orang lain yang lebih berjuang ketimbang kamu. Ada orang lain yang masalahnya lebih berat ketimbang kamu. Ada orang lain yang perjuangannya lebih keras dibanding kamu. Kamu nggak ada apa-apanya dibanding mereka. Sia-sia kamu cerita panjang-lebar kalau akhirnya cerita kamu dibalas cerita lain yang lebih ngenes. Kamu nggak ada apa-apanya dibanding mereka.’

Biasanya, saya duduk diam sehabis salat kemudian menyegerakan tidur dan melupakan semua keesokan paginya.

Hingga detik ini, saya masih bertanya-tanya seberapa berharganyakah sebuah cerita atau pengalaman seseorang? Harus bagaimanakah cerita itu hadir agar orang yang mendengarkannya mampu dengan sukarela menghargai setiap tutur yang disampaikan? Setelah saya pikir ulang, ternyata quotes yang saya hadirkan di atas tidak terlalu nyambung dengan pembahasan saya. Tapi dari kutipan itu saya menyadari satu hal: ternyata, memahami perjuangan seseorang yang sekecil apapun itu, atau minimal cerita dan pengalaman seseorang sesepele apapun itu, adalah awal dari sebuah kebaikan. Maka sudah sepantasnya mendulang kebaikan menjadi tujuan utama kita dalam hidup. Dan cara-caranya bisa dilakukan melalui banyak hal--termasuk menghargai cerita seseorang.

-9 November, 00:30--akhirnya bisa ditumpahkan dalam bentuk tulisan yang tidak marah-marah.

1 comment

  1. Selalu seperti itu sikap kamu tidak pernah berubah, bagaimana orang sekitar kamu bisa memahami kalo kamu tidak berani untuk mengungkapkannya?

    ReplyDelete

© based on a true story.
Maira Gall