Saturday, December 30, 2017

2017 bisa dibilang tahun yang adil buat saya.

Saya lupa bagaimana saya memulai tahun ini dua belas bulan yang lalu. Kalau nggak salah, saya lagi sibuk ngurusin penampilan drama, bikin tugas film paling hina dan ditonton dosen dan teman-teman Sastra Inggris lainnya, lagi sering-seringnya dikejar buat diskusi program kerja sama Abang-Dosen-Kita-Semua (yang selanjutnya saya sebut Bang TM). Oh, dan akhir dari semester lima yang akhirnya terlewati dengan baik juga (walaupun selama ngejalanin nggak berhenti-berhentinya ngomong, "Parah ini, semester paling anjing ini." Ckckck).

Pertengahan tahun saya liburan sama teman-teman tai kampus ke Bali. Ya, mungkin buat kalian yang sering ketemu saya, atau Tya, atau Lutfia, Ratih, Dila, pasti udah tau gimana perihal Bali kemarin. Jadi, yaudahlah. Walaupun nyeritain itu di postingan ini bisa bikin postingan saya lebih panjang, tapi kayaknya udah bukan tempat dan masanya lagi ngomongin masalah Bali. Bali udah tinggal kenangan. Yang kebawa sampe rumah cuma suara ombak yang sempat saya rekam malem-malem di pantai Dreamland, dan sebuah bandana oranye yang saya beli di Krisna.

Tapi kalau tahun depan mau ke sana lagi mah, hayuk aja. Hehehe.

Abis dari Bali, langsung dibantai sama magang dan awal semester tujuh. Jujur aja, saya pengen nulis cerita tentang magang kemarin di postingan yang beda. Karena emang ada banyak cerita selama magang di sana (walaupun sebagian besar cuma opini sih). Ya semoga saya ada waktu luang yang nggak kebuang cuma buat bengong ya, supaya bisa duduk depan laptop dan jadi sedikit lebih produktif.

By the way, ngomongin semester tujuh yang masih berjalan sampai sekarang (dan udah mau kelar juga (haduh (haduuuhhh (haduuuuuhhhhh))), kayaknya ini semester yang nggak kalah anjing seru dari semester-semester sebelumnya. Saya udah mulai bimbingan skripsi. Saya udah bimbingan sekitar...... dua kali dalam kurun waktu...... dua atau tiga bulan, mungkin? Hehehe. Di bimbingan kedua saya datang ke dospem saya dan minta ganti teori sambil bilang, "Saya nggak tau, Miss, kalau pake teori itu. Takut nggak ada ujungnya." Dan beliau cuma ketawa-ketawa yang saya masih penasaran apa maksud dibalik ketawanya itu. Ah, udahlah. Jangan ngomongin dospem saya. Dia orang baik kok.

Sama kayak awal tahun, menjelang akhir tahun saya juga dikejar-kejar lagi masalah proker. Berhubung saya waktu itu udah seharusnya turun jabatan, tapi karena jurusan saya masih menimbun uang di Biro, akhirnya dengan berat (tapi ikhlas) hati, saya bikin proker baru yang akan dilaksanakan dua bulan lagi. Tiga kegiatan untuk Sastra Inggris yang lebih baik! Halah tai. Hehehe. Yaudah gitu, mulai deh lingkaran setan berputar: saya ditanyain terus sama Bang TM, junior-junior saya yang jadi ketua pelaksananya ditanyain terus sama saya, dan mereka para ketua itu ngejar-ngejar anak buahnya supaya cepet beres segala persiapan. Begitulah lingkaran setan sebuah organisasi.

Di antara tiga kegiatan itu, yang paling saya suka ya launching buku kumpulan cerpen oleh Inkfinitum. Hahaha. Ya jadi ini salah satu project yang sebenernya diinisiasi oleh Bang TM dan juga sahabatnya, Mas Wis. Mas Wis ini adalah penulis yang tulisannya udah masuk Kompas dan majalah-majalah lainnya. He literally works as a writer now. Nah, dua ciprik ini dua sekawan ini pengen kita, mahasiswa-mahasiswa sastra bisa menghasilkan sesuatu yang emang ada hubungannya sama sastra. Ya apalagi kalau bukan tulisan. Maka lahirlah sebuah grup Whatsapp yang isinya orang-orang yang pengen nulis.

Yang kemudian berkurang karena ternyata nulis itu nggak gampang.

Akhirnya grup Whatsapp itu berubah nama jadi Inkfinitum. Project nulis pun dimulai tapi ternyata nulis itu susah. Bukan proses nulisnya sih kalau menurut saya, tapi proses bangun dari kasur, terus jalan ke meja, buka laptop, buka Ms Word, kemudian mulai ngetik. Hampir semua anak-anak Inkfinitum yang dikumpulin waktu itu mageran semua. Akhirnya setelah dapet ancaman kecil (dan waktunya juga udah makin sedikit), naskah pun satu per satu kelar. Kelar doang, belum kena revisi. Revisi bisa sampe empat/lima kali. Hhh.

Tapi saya senang. Setelah bertahun-tahun saya nulis cuma untuk 1) diri saya sendiri, 2) curhat, dan 3) mempertahankan pemikiran saya bahwa saya layak menjadi seorang penulis, kali ini saya dikasih kesempatan nulis untuk dibaca oleh banyak orang. Meskipun cuma dua cerpen, tapi proses duduk, diskusi sambil ngopi, ngalor-ngidul ngomongin banyak hal kesana-kemari, baca cerpen anak-anak lainnya, itu bagian yang menurut saya menyenangkan. Dan akhirnya Inkfinitum diresmikan dan buku kumcer yang kami (saya, Daffa, Dimas, Karin, kak Tikah, dan Laila) buat dan udah diedit sedemikian rupa oleh sang editor, resmi diluncurkan. Yay.


Saya nggak akan nggak senyum kalau inget teman-teman saya datang ke acara itu, dan junior saya jatuh di depan orang karena sebuah confetti, dan ketika saya dan teman-teman penulis lainnya dan editor dan para mentor duduk dan berfoto bersama. Iya, saya tau kedengarannya sangat sentimentil, tapi mau gimana lagi, saya beneran senang waktu itu.

Setelah acara itu selesai, saya lalu dihadapkan lagi oleh perihal remeh-temeh yang bikin saya pengen gampar siapapun yang ada di depan saya. Menjelang akhir tahun, saya berkutat ngerjain laporan---laporan apa aja yang bisa saya kerjain. Bagian paling menyebalkan dari ngerjain laporan justru bukan ngerjain laporannya, tapi minor things yang terjadi selama saya ngerjain laporan itu. Ya semacam itulah. Saya hampir kena mental breakdown karena tiap abis ngetik panjang, saya diem, saya tiduran, terus nangis. Tiga menit kemudian, saya duduk, saya liat di kaca muka saya udah jelek, saya liat laptop saya masih kebuka Ms Word, dan akhirnya saya lanjut ngetik lagi. Tiga kali saya mengulang ritme yang sama, rasanya pengen nonjok tembok tapi saya tau itu bakalan sakit banget.

Tapi itu udah lewat lah. Laporannya juga udah selesai. Hehehe.

2017 adalah tahun yang adil buat saya. Saya ketemu banyak orang yang menginspirasi saya untuk melakukan hal bermanfaat. Saya ketemu banyak orang yang menginspirasi saya untuk menggampar mereka sebanyak dua kali di muka (belum kejadian kok, tenang aja). Saya baru paham kalau ternyata manusia butuh ngomong dengan manusia lainnya in order to make him/herself feels less worse. Saya baru paham kalau ternyata teman ngobrol itu beda dengan teman hidup bukan orang yang bisa setiap saat diajak ngobrol.

Dan saya sadar 2017 cuma angka yang dibuat sebagai penanda. Toh waktu tetep aja lurus ke depan, nggak loncat ke atas kayak di kalender. Tahun ini, tahun depan, dua tahun lagi, apapun yang terjadi, ya itu cuma jadi bagian dari diri saya. Bukan bagian dari tahun 2017, 2018, atau 2020, atau bahkan bagian dari orang lain.

No comments

Post a Comment

© based on a true story.
Maira Gall