Thursday, February 1, 2018

Honest Review: Film "Dilan 1990"

Langsung saja ya kita mulai honest review dari saya.

Filmnya dibuka sama seperti novelnya, si Milea memperkenalkan dirinya, keluarganya, lalu teman-temannya. Lalu masuklah kita ke adegan yang selama ini sudah beredar dan jadi bahan bercandaan di mana-mana, adegan Dilan naik motor bersisian sama Milea lalu bilang,

Image result for dilan 1990 novel
Gambar ini saya ambil dari bukubiruku.com
Karena saya nggak suka poster filmnya di mana si Iqbaal terlihat kecil sekali badannya.

"Kamu... Milea, ya?"

Adegan yang membuat saya dan Andi meringkuk tidak jelas saking gelinya. Tapi tenang, awalnya memang agak menggelikan, apalagi buat kami yang sudah baca bukunya dan hanya bisa membayangkan adegan itu di otak kami. Lama-kelamaan, seiring filmnya berjalan, semua adegan bahkan dialog yang selama ini kami pikir "nggak banget" ketika difilmkan jadi bisa diterimadengan terpaksa.

Cerita berlanjut ke adegan di kelas, di mana Milea sebagai murid baru yang nggak berasa kayak murid baru karena doita bisa langsung akrab sama teman satu kelas (bahkan pas ulang tahun sempat dikasih surprise dan kue ulang tahun) yang menurut hemat saya sih, sesederhana karena Milea cantik. Coba kalau bentukannya kayak saya, ngobrol sama orang aja males, apalagi dikasih surprise? Di adegan itu, ada dua hal yang bikin saya sebel dan gemes; pertama, waktu teman sebangkunya Milea membuka pembicaraan dengan bilang, "Nggak kerasa yah, kamu udah dua minggu jadi murid di sini." Duh, tolong yah teteh-cantik-teman-sebangkunya-Milea, dua minggu dalam hitungan waktu normal itu sebentar tauk. Iya nggak sih? Kalau udah sebulan tuh, baru namanya "nggak kerasa".

Nah, yang kedua adalah waktu Milea nanyain soal kantin ke teteh-cantik-teman-sebangkunya-Milea. Karena di adegan kamu-Milea-ya itu si Dilan sempat ngeramal kalau mereka akan ketemu lagi di kantin, Milea langsung penasaran gitu. Doita langsung cerita sama teteh-cantik-teman-sebangkunya-Milea, kalau ada yang ngeramal kayak begitu. Temannya langsung nanya dong, "Terus kamu jadi mau ke kantin nggak?" Milea pun menjawab, "Nggak ah."

Ah, kalau saya jadi Milea sih, saya datengin tuh kantin. Saya cariin mana barudaknya yang kenal juga nggak tapi udah main ramal-ramalan.

Ya untungnya Milea nggak semurah saya, yah.

Saya lupa adegan selanjutnya (banyak yang saya lupa karena saya terlalu sibuk mengeluarkan kata-kata kasar selama film berlangsung). Mungkin waktu Dilan naik angkot sama Milea. Adegan ini masih bisa saya terima, kecuali lagi-lagi dialognya dan ekspresi wajah para aktornya. Kalau nggak salah, di sini Dilan bilang, "Milea, kamu cantik. Tapi aku belum cinta (atau suka?). Nggak tau kalau besok sore." Sang aktor melontarkan kalimat ini sambil menatap jauh ke luar angkot, ke atas lebih tepatnya. Saya kurang suka, seharusnya doi melirik-melirik sedikit ke arah Milea. Atau agak senderan ke belakang seolah-olah lagi bisikin Milea. Nah, Milea nya juga, malah sok-sokan baca novel. Saya agak sebel liatnya karena, ngapain sih baca novel di angkot? Nggak pusing apa?

Tapi, yaudahlah.

Lalu masuklah kita ke adegan yang paling saya suka, adegan waktu Dilan menyusup masuk ke kelasnya Milea. Tiba di kelas, Dilan berpapasan dengan seorang figuran yang saya yakini bernama Dadang. Si Dadang dengan polosnya bertanya,

"Ngapain, Dilan?"

Ternyata, yang menganggap adegan itu lucu cuma saya dan Andi. Satu bioskop nggak ada yang memerhatikan akting si Dadang itu. Sungguh sebuah penghinaan terhadap pemeran figuran! Tapi sumpah, itu lucu loh. Mungkin karena transisi adegannya yang agak cepat, pas tiba-tiba latarnya ganti jadi kelas, pas si Dadang itu muncul. Ah, terima kasih Dadang telah membantu menyelematkan film ini walaupun tidak banyak yang kamu lakukan.

Saya dan Andi berencana buat sekuel film Dilan tapi dari sisi Dadang. Semacam Fantastic Beast-nya J.K. Rowling. Tunggu saja. Kalau nggak keluar, berarti saya dan Andi nggak jadi nulis si Dadang.

Saya lupa lagi adegan selanjutnya. Oh iya, saya keingetan adegan di kantin waktu Milea dan kawan-kawan lagi makan batagor. Ada si ketua kelas juga, Nandan. Terus tiba-tiba si Dilan nyamperin mereka. Dia ngomong ke Nandan--yang duduk di depan Milea, "Aku suka Milea, loh!" Terus Nandan kebingungan gitu dan Dilan lanjut bisikkin Nandan, "Tapi jangan bilang-bilang Milea, yah, kalau aku suka sama dia." Nandan pun semacam menjawab, eta orangnya ada di depan kamu ngapain bilang ke sayah? Dan Dilan pun membalas, "Kan aku bilangnya ke kamu, bukan ke Milea!"

Waktu adegan itu muncul, saya sempat lupa kalau itu ada di bukunya. Jadi saya senang karena diingatkan lagi sama adegan yang yah, lumayan lucu sih. Waktu saya baca bukunya, saya ngebayangin sosok Dilan yang agak macho dan bertubuh gempal, dengan seragam yang udah agak merecet dan berwarna kusam (iya, di filmnya, semua murid sekolah Dilan pada pakai baju baru, masih putih, masih kaku, masih bau toko), ngomong sok imut gitu ke Nandan. Alhasil jadi luculah bayangan saya. Sedangkan ketika saya nonton filmnya, saya melihat si Iqbaal (a-nya dua, nggak tau kenapa) ini emang udah perawakannya remaja imut gitu. Jadi pas doi memainkan adegan itu, saya jadi kurang greget liatnya. Padahal udah oke loh penghayatan dialognya (anjas).

Mungkin adegan Dilan dan Milea telepon-teleponan itu juga penting. AH IYA saya jadi ingat. Waktu mereka teleponan malam-malam untuk pertama kalinya (saya lupa itu bagian dialog apa). Kamera lagi asyik-asyiknya nge-shoot muka Milea lalu tiba-tiba muncul BULAN SEGEDE GABAN HAMPIR MENUTUPI SETENGAH LAYAR BIOSKOP. Saya pikir, DOP-nya mau nyamain muka Milea sama bulan, nggak taunya itu dimaksudkan buat bergantian siang ke malam.

Image result for bulan purnama
Nah, persis kayak begini bentukan bulannya.

Ya tapi nggak usah bulan juga kali kalau mau transisi. Langit gelap plus bintang-bintang kek, atau kalau mau pakai bulan ya jangan sampai menuhin setengah layar juga. Kami yang nonton kan jadi kaget. Saya sempat mikir jangan-jangan ini gabungan film Dilan dengan film Meet Me After Sunset yang mana pemeran utamanya ternyata adalah vampir! (Iya, saya tau film itu karena trailer-nya muncul sebelum filmnya dimulai)

Udah, udah, ayo kita lanjut lagi review-nya. Saya mau bahas adegan Dilan dan Milea jalan-jalan naik motor keliling kota Bandung. Ini banyak masalah teknis yang  saya sayangkan. Pertama, kota Bandung. Saya tau cerita ini mengambil latar Bandung tahun 90an, dan akan butuh usaha untuk menampilkan suasana tahun 90an ketika bikin filmnya di tahun 2017. Telepon umum, telepon rumah, motor, dan bentuk rumah mungkin beberapa detail utama yang dihadirkan sama si pembuat film. Sayangnya, itu aja nggak cukup. Latar suasana jalanan Bandung kurang diekspos, interior rumah Milea (selain telepon rumah) masih kurang berasa 90an-nya. Saya sempat mengeluh ke Andi, saya bilang, sofa di rumahnya Milea terlalu modern, dari segi warna dan bentuk.

"Jangan-jangan belinya di IKEA kali ya."

"Padahal tahun 90an, IKEA belum ada di Alam Sutera."

"Positive thinking aja, Del. Mungkin keluarganya impor furnitur langsung dari Swedia."

Ya itu detail-detail kecil yang harusnya sih bisa diusahakan muncul di film. Terlebih ini Bandung gitu loh, kota yang selalu punya tempat di hati sebagian orang. Rasanya tiap ada film yang berlatar di Bandung tuh, selalu bikin saya pengen jalan ke sana. Sedangkan ini nggak.

Dan, adegan waktu Dilan dan Milea jalan-jalan naik motor itu harusnya jadi kesempatan buat nunjukkin suasana kota Bandung di tahun 90an. Oke, mungkin saya ngomong seenak jidat tanpa tau gimana susahnya menampilkan suasana 90an di kota Bandung di tahun 2017. Tapi kalau menurut saya sih, itu semua bisa dilakukan dengan cara sederhana. Sesederhana nge-shoot nama jalan kota Bandung, pepohonan di sekitar jalan raya (bukan pepohonan di sekitar perumahan karena yang saya perhatiin filmnya banyak nge-shoot di daerah perumahan), atau jejeran toko-toko lama yang sekarang masih ada di Bandung.

Iya, iya, tau, ngomong tuh emang gampang. Saya sendiri juga kurang paham gimana prosedur syuting film di fasilitas umum kayak jalan raya. Dari sini kita bisa mengambil kesimpulan, bahwa semakin matang sebuah karya, semakin banyak waktu yang dibutuhkan untuk karya itu. Film Dilan seinget saya mulai syuting sekitar pertengahan tahun 2017. Akhir Desember lalu kalau nggak salah udah mulai promo film. Berarti waktu pembuatannya cuma sekitar enam bulan, yang mana kalau buat saya, untuk seukuran film yang butuh banyak detail, itu waktu yang terlalu singkat.

Kalau ngomongin ini, saya selalu pengen nyerempet ngomongin masalah kastingnya. Kalau produsernya nggak terlalu ngebet dapet untung, mungkin tim casting-nya bisa meluangkan waktu untuk open casting warga lokal, dibandingkan nyari dari kalangan aktor yang udah punya nama. Saya juga kurang paham ya masalah gini-gini, tapi patokan saya untuk masalah casting itu film Sing Street. Di situ semua pemeran utamanya (termasuk si duo ganteng kampret itu) diambil dari orang lokal Irlandia, bener-bener murni belum pernah main film. Hasilnya? Nggak kalah keren aktingnya sama aktor-aktor yang punya nama. Lagipula kalau waktu itu tim produksi film Dilan buka casting untuk waga lokal, dan yang terpilih adalah mereka yang mukanya belum familiar, pastinya nggak akan ada hujatan buat si Iqbaal ataupun fans-nya Iqbaal.

Ah, tapi itu sotoy-sotoyan saya aja sih. Teteplah mereka yang bekerja untuk film Dilan yang lebih paham gimana caranya bikin film yang baik dan benar. Saya mah cuma penonton karbitan yang nggak tau apa-apa soal dunia perfilman.

Lanjut, jangan?

Saya masih mau ngomongin adegan Dilan dan Milea jalan-jalan naik motor. Di situ mereka sahut-sahutan dialog unyu gitu deh. Saya lupa apa aja dialognya. Saya juga lupa terlebih karena mereka ngomongnya cepet banget :( Tektok dialognya jadi kurang dapet dan saya cuma kebagian akhir-akhirnya waktu mereka ngomong,

"...terus dikutuk jadi batu deh,"

"Terus batunya kamu pegang terus."

"Biar apa?"

"Biar nggak sakit perut!"

Satu bioskop meledak ketawa, apalagi pas liat si Iqbaalmaaf, maksud saya Dilan, mukanya ngelawak gitu pas bilang "sakit perut". Sebenarnya nggak cuma dialog itu, banyak dialog-dialog lain yang pelafalannya kurang jelas karena telalu cepat. Puncaknya, yang paling mengecewakan saya dan Andi adalah dialog Dilan marah-marah di ruang kepala sekolah.

Saya ingat betul adegan itu; si Dilan mukulin Anhar karena Anhar nampar Milea. Abis itu mereka dibawa ke ruang kepala sekolah, dan di situ, di depan kepala sekolah dan guru-guru lainnya, Dilan ngamuk dan teriak,

"KEPALA SEKOLAH NAMPAR DIA, KUBAKAR SEKOLAH INI!"

Wuis. Anjay. Mantap. Canggih gila ni bocah.

Waktu saya baca novelnya, saya agak-agak merinding gimana gitu bacanya. Gila, Dilan ngamuk cuy! Ngamuknya nggak kira-kira, sampe bawa kepala sekolah! Ini anak jenderal atau anak sultan ya si Dilan-Dilan ini? Tapi, kita nggak perlu bahas logika dulu deh ya. Di adegan itu, menurut saya itu momen klimaks kemarahannya Dilan. Kalau kata Andi, itu bukti ke-bucin-annya Dilan terhadap Milea.

Sayangnyaaa... kalimat itu nggak terdengar jelas pelafalannya. Si Iqbaal cuma bangun terus teriak, "KEPALA SEKOLAH SHDFSJSNC CSNMXXM, SKDSJCRTE  DIOPIKJKJSKS INI!!!" Saya sama Andi langsung kecewa pas liat adegan itu. Seperti yang saya bilang tadi, transisi dari satu adegan ke adegan lainnya terlalu cepet. Abis Dilan ngamuk, langsung pindah ke Warung Bi Eem.

EH IYA, ini Warung Bi Eem juga jadi masalah nih. Masa warungnya bentuknya kayak kafe rumahan??? Gini loh. Secara logika aja, penyebutan 'warung' itu konotasinya kalau nggak warung kecil yang suka ada di perumahan, warung kopi yang suka ada di pinggir jalan, atau warung dari kayu/anyaman bambu plus ada meja dan kursi panjang di depannya. Iya kan? Coba, saya suruh kalian bayangin sebuah warung, pasti kalian nggak akan kepikiran sebuah rumah, ada dapur di belakangnya, ada meja-meja untuk empat orang gitu, terus dari luar terlihat seperti rumah. Iya kan? Di situ saya kecewa sekali tiap kali melihat Warung Bi Eem.

Udah kali yah, segitu aja review dari saya. Kalau dilanjut, saya bisa kebablasan bahas Wati, Piyan, Ibunya Milea, Bundanya Dilan, latar jalanan waktu Bundanya Dilan nganter Milea pakai jeepwah, masih banyak deh. Pegel saya nulisnya. Mohon maaf kalau saya spoiler, lagian kalian pasti juga udah nonton filmnya. Buat yang belum nonton, mudah-mudahan setelah baca review saya kalian langsung mengurungkan niat untuk nonton film Dilan. Ya tapi kalau tetep mau nonton ya silakan. Asal tau aja, kalau kalian nonton itu, apalagi nontonnya pas malam minggu, kalian sudah berkontribusi memperkaya orang-orang yang ada dibalik pembuatan film Dilan itu. Mereka makin kaya, kita makin miskin. Dasar kapitalis!

Kalau disuruh nilai dari 1 sampai 5, saya kasih film Dilan 1990 nilai 2. Eh, 2,5 aja deh. Karena pada dasarnya secara pribadi saya suka Dilan, terlepas dari siapa pemerannya. Dilan itu tokoh fiksi yang cuma ada di benak pembacanya, yang bikin kitamaaf, saya maksudnya, jadi bisa ngerasain gimana rasanya digombalin, dilucuin, dikasih kata-kata aneh oleh seseorang kayak Dilan. Jadi, tolong yah, jangan berharap sosok Dilan itu ada di dunia nyata. Biarlah tokoh fiksi buatan Ayah Pidi Baiq itu tetap jadi tokoh fiksi yang bikin kita senyam-senyum sendiri dengan ke-anti-mainstream-annya dalam mencuri hati seseorang.


P.S.: kalimat terakhir saya tulis dengan setengah sadar. Percayalah.

1 comment

  1. Makasih del, udah bikin rasa penasaran gue terbayarkan. Tadinya gue gak mau nonton, tapi kepengen nonton karena mau cari tahu cerita aslinya gimana. Tapi gue terselamatkan. thx

    ReplyDelete

© based on a true story.
Maira Gall