Sunday, March 4, 2018

Arguing about an Article and the Comments of the Article

Beberapa waktu lalu gue sempat meluangkan waktu gue untuk membaca beberapa artikel seputar kehidupan sehari-hari di sebuah situs yang (sepertinya) berbau equality matters. Yah, tahulah, situs yang berisi artikel-artikel opini tentang perempuan dan juga laki-laki sebagai topik utama dan masalah-masalah sosial lainnya. Intinya situs ini punya banyak artikel yang seru untuk dibaca.

Karena penasaran, gue pun mencoba scroll down timeline Twitter situs tersebut, berusaha mencari artikel-artikel yang sekiranya bisa gue baca. Akhirnya gue menemukan satu artikel tentang membaca. Isinya, setelah gue baca, adalah keresahan (can I say that?) si penulis tentang kebiasaan membaca di lingkungan sekitarnya, khususnya orang-orang yang dia kenal. Di sana dia semacam mempertanyakan bagaimana membaca bisa jadi sesuatu yang nggak dilakukan oleh orang padahal dengan membaca kita bisa mendapatkan banyak ilmu dan pengetahuan.

Ketika gue membaca artikel itu, gue setuju dengan apa yang diutarakannya. Ya sebagai orang yang suka baca, mau nggak mau gue mengiyakan poin-poin yang ia jabarkan. Sampai akhirnya gue iseng baca kolom komentarnya. Dan di situ gue disadarkan bahwa beberapa poin yang ditulis si penulis agak kurang relevan.

Pertama, si komentator bilang kalau si penulis nggak seharusnya menghubungkan minat membaca dengan gelar seseorang. Jadi, di artikel itu si penulis membukanya dengan menceritakan temannya yang udah dapet gelar doktoral, tapi ketika ditanya lo suka baca nggak si teman menjawab nggak. Si penulis kaget (dia nulis dia kaget, bukan gue ngeliat langsung muka si penulis dengan mata melotot dan hidung kembang-kempis), ia pun bertanya-tanya, kok bisa elo yang udah gelar doktoral tapi masih nggak suka baca? Gimana bisa elo dapet ilmu tinggi tapi nggak hobi baca?

Si komentator memermasalahkan ini dengan bilang, nggak ada hubungannya orang yang udah sekolah tinggi dengan hobi membaca. Kalau memang dia nggak suka baca, ya mau diapain lagi. Lagipula si teman yang udah bergelar ini nggak mungkin nggak baca apa-apa selama dia kuliah. Dia pasti baca jurnal-jurnal untuk mendukung tesisnya. Jadi, ketika ditanya suka baca apa nggak, ya wajar kalau dia jawab nggak. Mungkin dia udah enek baca jurnal yang bejibun dan setelah lulus, ini adalah saatnya dia untuk istirahat panjang dari kegiatan membaca.

Gue ngangguk-ngangguk pas baca komentar itu. Si komentator ada benernya juga. Bahkan gue yang anak sastra pun kalau bukan karena tugas atau disuruh dosen untuk baca jurnal-jurnal tai tentang marxisme, feminisme, atau psikoanalisis, mungkin gue nggak akan mau sukarela meluangkan waktu untuk membaca itu. Dan setelah gue baca berlembar-lembar tulisan orang, gue suka ngerasa ah udahlah, capek baca mulu, mau istirahat dulu (iya, gue akuin gue anak sastra yang buruk karena males baca). Jadi gue pikir nggak seharusnya si penulis dengan serta-merta kaget dan bilang, gimana bisa cuy elo udah punya gelar tapi nggak suka baca???

Kedua, si komentator mulai ngebahas membaca sebagai satu-satunya cara mendapatkan ilmu. Dia bilang, ada banyak cara di dunia ini untuk mendapatkan ilmu, pengetahuan, bahkan pengalaman. Exploring the world and the people, watching some videos, or listening to people's experience, itu juga merupakan cara-cara untuk bisa dapet ilmu. Intinya, ilmu nggak cuma bisa didapat dengan membaca doang. Si komentator merasa keberatan dengan klaim si penulis yang satu ini. Bahkan dia sampai bilang kalau si penulis ini terlalu naif untuk menerima kenyataan bahwa di dunia ini ada orang yang nggak menjadikan membaca sebagai hobi atau kebiasaan.

Di sini, gue keberatan dengan si komentator. Memang ada banyak cara untuk mendapatkan ilmu, gue pun mengakui selain membaca gue juga seneng nonton video, gue suka liat gambar bergerak, dan nggak jarang gue lebih paham ketika dijelasin lewat video ketimbang baca teks. Tapi, walaupun cara-cara itu terbukti ampuh, membaca adalah cara termudah, terefektif, dan terbaik (menurut gue) untuk mendapatkan ilmu atau informasi. Gue ngerasain hal itu (walaupun telat). Okelah membaca itu bagi sebagian orang bisa dijadiin hobi yang mana mereka bisa melakukan itu tanpa pressure tapi lebih ke fun. Tapi gue nggak bisa bilang kalau membaca itu nggak penting. Membaca itu penting. Mungkin kalau dari segi isi, itu tergantung minat masing-masing orang. Ada yang suka baca fiksi, non fiksi, sejarah, dan sebagainya. Tapi lebih dari itu, dengan banyak membaca setidaknya lo bisa punya gambaran bagaimana tulisan yang baik dan enak dibaca itu bisa dibuat, yang pada akhirnya akan berguna ketika lo menulis (which is something that everyone in education system will do, right?). Ketika membaca lo nggak cuma sekedar dapet informasi, tapi lo juga melihat bagaimana struktur kalimat disusun dengan baik sehingga lo betah baca bacaan itu.

Gue nggak akan ngomongin artikel pendek ndak jelas yang suka muncul di Line Today (I stopped scrolling down my Line's timeline by the way because it's a waste of time number two setelah nontonin snapgram rangorang). Ya walaupun artikel berita juga layak dibaca, tapi entah kenapa gue ngerasa berita itu sekarang gampang banget diputar-balik. Gue selalu enggan buat nge-klik artikel berita-berita macam detikcom atau kompascom, apalagi yang judulnya memancing rasa penasaran. Gue lebih suka nge-klik tautannya Uda Ivan Lanin karena beliau terlihat muda sekali di avatar Twitter-nya membahas bahasa Indonesia dan tata bahasa yang benar.

Maksud gue tentang membaca itu adalah minimal artikel opini orang-orang tentang sebuah isu atau masalah atau keresahan kayak artikel yang gue baca itu. Biasanya setelah gue baca sampai selesai, gue baru sadar, wah tulisannya rapih. Susunannya bagus, nggak kayak tulisan blog gue. Ada masalah, ada contoh masalah, mempertanyakan masalah, membahas masalah, dan mencari solusi dari masalah. Kurang lebih itu yang suka gue liat ketika membaca. Jadi, selain untuk menyerap isi bacaan, membaca juga bisa jadi latihan untuk menulis.

Dan hal teknis kayak gini gue rasa nggak bisa didapetin dengan jalan-jalan, ketemu orang, ngobrol, atau apalah selain membaca. Membaca itu kayak nonton film, masing-masing orang akan punya experience yang beda setelahnya. Apa yang lo liat belum tentu sama dengan orang lain. Lo bisa punya persepsi sendiri terhadap suatu hal. Lo juga bisa dapet ilmu yang mungkin orang lain nggak nemu. Intinya, menjadikan membaca sebagai suatu kebiasaan itu harus. Apalagi di jaman sekarang di mana informasi apapun, positif atau negatif, bisa langsung kesebar dengan cepat. Semakin banyak lo membaca, semakin lo bisa punya banyak pandangan berbeda, dan lo bisa jadi orang yang objektif dalam melihat suatu masalah. Dengan banyak baca, lo nggak akan terjebak dalam satu sumber yang sama dan berakhir jadi orang yang subjektif (dan orang subjektif biasanya nggak jauh-jauh dari sifat nyebelin).

Kecuali yah, kalau emang situ udah fanatik banget sama satu sumber dan males cari sumber lain, yah, apa boleh buat. Setidaknya situ udah melakukan satu kegiatan yang baik; membaca.

No comments

Post a Comment

© based on a true story.
Maira Gall