Thursday, May 10, 2018

Melihat Kekosongan (Sebuah Cerita yang Agak Pendek)

Saban hari, perempuan itu hanya duduk diam di depan meja belajarnya sambil sesekali memeriksa telepon pintar. Setelah merasakan hawa panas di telapak tangan, pertanda pancaran radiasi sudah mulai menyebar, ia pun meletakkannya kembali dan beralih melihat sekeliling. Kamarnya tidak lagi begitu ramai seperti yang sebelumnya, yang pada salah satu bagian dindingnya dihiasi kumpulan foto-foto yang sengaja ia cetak. Ia menamai dinding itu 'hall of memories'. Di setiap lembar foto yang terpajang mengandung sejuta cerita. Jika seseorang memintanya untuk menceritakan kisah dibalik fotonya bersama dua orang sahabat karibnya semasa SMA, maka cerita itu tidak hanya berhenti pada momen ketika foto tersebut diambil. Ia akan meracau ke waktu lain yang sebetulnya tidak ada hubungannya dengan foto tersebut, hanya saja otak manusia terlalu hebat dalam urusan macam itu.

Kini kamarnya lebih terlihat sederhana. Ia masih memajang foto di dinding hanya saja tidak seramai dulu. Kali ini ia merasa tidak perlu menempelkan semua foto teman-temannya, cukup teman-teman yang ia rasa pernah menaruh kontribusi besar pada hidupnya selama ini. Dengan kekosongan itu, ia tidak perlu lagi mengingat-ingat kembali suatu masa yang terekam dalam kamera. Kekosongan itu sendiri yang akhirnya menemani pikirannya yang semakin hari semakin tidak keruan.

Mungkin itu sebabnya ia begitu teralihkan dengan telepon genggamnya. Aplikasi sosial yang sengaja ia unduh untuk kebutuhan pribadibukan kebutuhan sosialbelakangan membuatnya semakin malas untuk setidaknya melirik sedikit pekerjaannya yang belum juga rampung. Ternyata, memperhatikan kehidupan rekan-rekan sepantaran yang tidak pernah ia temui selepas perpisahan sekolah, merupakan kegiatan yang adiktif namun mengasyikkan. Meskipun pada akhirnya ia sadar bahwa selama ini ia selalu melewati unggahan-unggahan semacam foto muka satu layar dibarengi caption sabda nabi, atau foto pasangan penuh kemesraan yang ia berani bertaruh akan berakhir cepat atau lambat, tapi ia tetap melakukannya berulang kali.

Ia tahu, di saat seperti ini, ia harus segera mencari sumber motivasi agar terhindar dari pekerjaan paling hina di muka bumimembuang-buang waktu. Telepon dari ayahnya tidak memberikan suntikan semangat yang menggebu-gebu, malah semakin terasa menyebalkan di telinga. Kata tanya 'kapan' selalu terselip di sela-sela obrolan mereka. Sebetulnya ia ingin mendebat, memberikan argumen yang tidak terlalu logis sebagai pembelaan sekaligus permohonan untuk bisa mengerti kondisinya. Tapi, tentu saja, ia tidak pernah melakukan itu. Ia membiarkan pertanyaan ayahnya masuk ke kepalanya sampai meresap begitu dalam hingga mereka mengetuk relung batinnya supaya kemudian bisa langsung tergerak untuk menyelesaikan hajatnya.

Kalau itu tidak berhasil, seharusnya menonton perayaan teman-teman seangkatannya yang satu per satu sudah mulai menyombongkan diri di sosial media bisa jadi sumber motivasi yang cukup buatnya. Ia bisa melihat senyum kebahagiaan yang terpancar pada setiap foto; ada yang dengan bangganya menyertakan jilidan kertas penelitian, ada yang menenteng buket bunga yang dibeli di Pasar Cikini, ada pula yang berpose dengan sang kekasih, menandakan bahwa si kekasih itu adalah salah satu pendukung sekaligus penyemangat terbesarnya dalam menyelesaikan studinyadan ia tidak pernah bisa mempercayai hal itu. Lebih dari itu, seharusnya ia bisa menyaksikan betapa menyenangkannya berada di antara teman, keluarga, dan orang-orang di sekitar, berfoto bersama sambil mengenakan busana dan riasan aduhai yang entah sejak kapan menjadi bagian dari tradisi warga negara kita.

Sayangnya, hal itu tidak pernah dianggapnya sebagai salah satu elemen penggerak yang nampol. Ia benci segala bentuk perayaan dan sebisa mungkin tidak ingin terlibat di dalamnya. Meski begitu, ia sadar bahwa ini bukanlah perkara merayakan penyambutan tenaga kerja baru yang siap bersaing, ini adalah perihal mencegah orang tuanya mengeluarkan uang untuk institusi tempatnya belajar. Semakin banyak pundi-pundi yang mereka habiskan untuk kebutuhan akademiknya, semakin banyak pula uang yang harus ia kumpulkan sebagai niat membayar utang kepada orang tuanya.

Ketika pikirannya sudah mentok pada hal itu, ia akan berdalih butuh istirahat dan merebahkan diri di atas kasur. Ia kembali melihat sekeliling, kamarnya yang tertata cukup rapi pada hari-hari tertentu, gantungan pakaian yang menjuntai, meja belajar dengan laptop yang menyala, dan dinding semi-kosong tempatnya menggantung kumpulan foto polaroid bersama teman-temannya. Ia masih tidak menemukan apa-apa di sana, hanya cerita dibalik masing-masing gambarnya. Ketika melihat gambar tersebut, ia membawa pikirannya ke waktu ketika foto tersebut diambil. Setahun lalu, dua tahun lalu, tiga tahun lalu, empat tahun lalu.

Dan kekosongan kembali menyelimutinya hingga ia tertidur pulas.


Tangerang, 2018.

No comments

Post a Comment

© based on a true story.
Maira Gall