Sunday, July 15, 2018

Honest Review: Si Wesel Pos yang Agak Sombong

Jadi waktu itu dalam rangka menghabiskan sisa uang jajan bulanan, saya ke Gramedia dan berniat membeli dua buah buku sekaligus. Setelah bolak-balik di sepanjang rak sambil garuk-garuk dagu (biar terkesan intelek), saya akhirnya membeli buku kumpulan cerpennya Budi Darma yang paling terbaru, Hotel Tua, dan sebuah buku kecil imut dan tipis berjudul Wesel Pos.

karya mb Ratih Kumala.

Kebetulan pas saya keliling cari-cari buku yang menarik, buku Wesel Pos ini punya sampul yang lumayan menonjol dibandingkan buku-buku yang lain. Ya nggak tau sih, ya, apa kekuatan visual saya segitu murahnya, tapi menurut saya sampul model begitu bisa dimasukkan ke dalam katagori bagus. Karena nggak mau ketipu sama sampul, saya coba baca sinopsis di belakangnya. Lumayan menarik. Ceritanya tentang seorang yang pindah ke Jakarta dan apakah dia bisa bertahan hidup atau nggak. Dari komentar-komentar yang dicantumkan—yang salah satunya dari penyair terkenal—saya jadi tahu kalau cerita ini dibawakan oleh sebuah benda bernama wesel pos. Saya tertarik sama itu. Dan langsung saya beli aja buku tipis seharga 50 ribuan itu.

Sampai rumah, saya langsung baca yang Wesel Pos itu. Karena bukunya tipis ya jadi agak semangat bacanya. Di bab pertama, saya langsung disuguhi perkenalan oleh si Wesel Pos. Menurut saya paragraf pertamanya itu kayak Wikipedia tapi dengan subjek aku. Setelah si Wesel Pos memperkenalkan wesel pos di Indonesia, dia langsung ngomongin satu orang yang masih menggunakan jasanya, yaitu Elisa, si protagonis kita. Kalau boleh saya tembak langsung, jujur saya keganggu dengan si narator alias Wesel Pos, yang bisa tahu segala sesuatu di luar kehidupan dia. Wesel Pos tahu Elisa masih menggunakan jasanya untuk menerima uang dari kakaknya yang ada di Jakarta, itu masih masuk akal. Tapi ketika dia tiba-tiba ngejelasin, “Elisa sendiri tinggal di Purwodadi. Kalau mau kemari, kamu harus naik pesawat dulu ke Semarang. Setelah itu, cari bis menuju Purwodadi,” saya jadi ngebayangin si Wesel Pos ini pernah naik pesawat keliling Indonesia. Terlalu manusiawi. Nggak ada batasan seberapa jauh benda yang dijadikan narator ini tahu kejadian di sekitarnya.

Di bab-bab selanjutnya nggak kalah ajaib. Wesel Pos bisa tahu: kejadian yang terjadi ketika si Wesel Pos lagi nggak ada di dekat Elisa, sejarah Elisa dan kakaknya yang memutuskan berangkat ke Jakarta (yang berarti pada saat itu wesel pos belum digunakan), isi pikirannya Elisa, dan bahkan isi pikiran orang lain selain Elisa. Saya bisa terima kalau Wesel Pos bisa menjelaskan kejadian ketika dia ada di kantong jaket Elisa, atau tergeletak di meja, atau di mana aja yang bisa kelihatan. Saya juga bisa terima kalau wesel pos bisa tahu isi pikiran Elisa tapi dengan batasan sebagai benda mati. Kalimat “Elisa pikir, Fahri tinggal di rumah yang posisinya rata di tanah. … Tetapi dugaan Elisa salah,” terlalu ajaib untuk sebuah wesel pos bisa tahu sampai sedalam itu. Kecuali kalau si Wesel Pos cuma bisa nebak-nebak apa yang dia “lihat”. Atau mungkin menjelaskan dugaan wesel pos itu sebagai dugaan dia sendiri: “Dari raut wajah Elisa, aku bisa merasakan bahwa ia tidak menyangka akan dibawa ke sebuah gedung tinggi dengan deretan pintu dan berbagai macam pakaian menggantung di pinggir balkon."

Masih di bab yang sama, karena udah mulai berasa naratornya orang ketiga di luar cerita, saya kira memang akan seterusnya sampai selesai begitu. Si Wesel Pos yang hebat ini bakal tahu segala sesuatu yang terjadi di sekitar Elisa tanpa harus menempatkan dirinya sebagai benda mati. Taaapiii, tiba-tiba di satu adegan si Wesel Pos muncul lagi! Ceritanya Fahri, teman kakaknya Elisa, masih nggak percaya ada orang yang masih pakai jasa wesel pos. Sebelum Elisa menjelaskan ke Fahri, si Wesel Pos tiba-tiba angkat suara, “Hey! Jaga mulutmu anak muda! Aku ini lebih tua dari kamu! Sejak jaman Belanda masih jadi tuan meneer di negeri kita, sampai sekarang kita punya presiden yang doyan rock band, aku tetap eksis. Tuh kan… kamu bikin Elisa sedih dengan ucapanmu.”

...saya pengen udahan baca tapi langsung inget harga bukunya. Hhh.

Jujur waktu baca bagian itu saya sempat kaget. Loh eh, leh oh, kok si Wesel Pos muncul lagi? Kirain tadi udah resmi jadi orang ketiga. Ternyata nggak. Selain tahu segalanya, wesel posnya agak sombong, ya. Hahaha.

Setelah Elisa menjelaskan alasan kenapa dia masih pakai wesel pos, si Wesel Pos lanjut ngomong lagi ditambah sound effect tepuk tangan yang ditulis nggak kayak suara tepuk tangan: “Keprok-keprok!” Dan di penjelasan selanjutnya Wesel Pos mulai ngasih sedikit ilmu tentang penggunaan wesel pos di jaman sekarang. Sebuah informasi yang dikemas dalam enam baris yang kemudian ditambah sedikit filosofi tentang perubahan; bahwa “…perubahan adalah keniscayaan, tetapi bersedia pada fungsi yang hakiki adalah prinsipku…” Daebak!!!

Setelah itu yaudah, saya lanjut baca dengan menerima bahwa satu buku ini diceritain sama sebuah wesel pos yang kadang ada kadang tiada. Ceritanya tetep berjalan dengan… baik. Ya intinya sih memang cuma nyeritain orang kampung yang nekat ke Jakarta, terus sampai di sana ternyata kena sial, abis kena sial ternyata ditolong sama orang baik, abis ditolong dia menemukan fakta baru tentang kakaknya, abis itu dia mulai membuat rencana baru dengan teman kakaknya, abis itu dibalik kebaikan teman kakaknya ternyata ada sebuah keburukan, dan pada akhirnya keburukan itu bikin teman kakaknya “kalah” di Jakarta.

Di bagian akhir, saya berharap ketemu si Wesel Pos lagi. Dan ternyata bener aja, doi muncul lagi. Ceritanya dia terbang entah kemana, ikutan “kalah” kayak Fahri. Tapi, entah ini perasaan saya doang atau emang paragraf terakhirnya nggak “wesel pos” banget. Ya oke, mungkin penulisnya mau tetep bawa suasana Jakarta, dan bagaimana ironisnya kehidupan di sana. Tapi… this book is called Wesel Pos. Saya pengen keironisannya Jakarta dilihat dari mata wesel pos, bukan penulisnya. Eh iya, mungkin karena wesel posnya udah terbang kali, ya, jadi naratornya langsung diambil alih sama penulis. Hmm, kalau begitu, kenapa nggak dari awal aja si penulis yang jadi naratornya???

Baiklah, mungkin itu saja yang bisa saya tulis mengenai novelet Wesel Pos. Novel tipis seharga 50 ribuan ini menurut saya punya cerita yang sederhana—dalam artian ya emang begitu doang ceritanya, tentang seorang perempuan yang nekat ke Jakarta untuk mencari tahu apakah dia orang sakti atau orang sakit. Diceritakan langsung oleh benda yang bisa tahu segalanya dan hey, sampai sekarang aku masih eksis tauk! yaitu wesel pos, cerita ini membuat para pembaca menganggap bahwa benda mati bisa jadi sudut pandang atau narator yang baik. Padahal nggak. Tapi kalau ngomongin penulisnya, saya baru tahu kalau mb nya penulis Tabula Rasa dan Gadis Kretek, which I have not read yet. Menurut review di goodreads, salah dua novel mb nya itu emang bagus dan layak dapet penghargaan ketimbang novel yang terakhir ini. Sayangnya saya malah kebagian baca novel ini duluan, jadi keburu ancur selera saya. Mungkin kalau ada kesempatan saya akan coba baca buku-buku sebelumnya sebagai bahan perbandingan.

Ya kalau sempet aja, sih.

Beneran tipis dan 50 ribuan kan...

No comments

Post a Comment

© based on a true story.
Maira Gall