karya mb Ratih Kumala. |
Kebetulan pas saya keliling cari-cari buku yang menarik,
buku Wesel Pos ini punya sampul yang
lumayan menonjol dibandingkan buku-buku yang lain. Ya nggak tau sih, ya, apa
kekuatan visual saya segitu murahnya, tapi menurut saya sampul model begitu
bisa dimasukkan ke dalam katagori bagus. Karena nggak mau ketipu sama sampul,
saya coba baca sinopsis di belakangnya. Lumayan menarik. Ceritanya tentang
seorang yang pindah ke Jakarta dan apakah dia bisa bertahan hidup atau nggak.
Dari komentar-komentar yang dicantumkan—yang salah satunya dari penyair
terkenal—saya jadi tahu kalau cerita ini dibawakan oleh sebuah benda bernama
wesel pos. Saya tertarik sama itu. Dan langsung saya beli aja buku tipis seharga 50 ribuan itu.
Sampai rumah, saya langsung baca yang Wesel Pos itu. Karena bukunya tipis ya jadi agak semangat bacanya.
Di bab pertama, saya langsung disuguhi perkenalan oleh si Wesel Pos. Menurut
saya paragraf pertamanya itu kayak Wikipedia tapi dengan subjek aku. Setelah si
Wesel Pos memperkenalkan wesel pos di Indonesia, dia langsung ngomongin satu
orang yang masih menggunakan jasanya, yaitu Elisa, si protagonis kita. Kalau
boleh saya tembak langsung, jujur saya keganggu dengan si narator alias Wesel
Pos, yang bisa tahu segala sesuatu di luar kehidupan dia. Wesel Pos tahu Elisa
masih menggunakan jasanya untuk menerima uang dari kakaknya yang ada di
Jakarta, itu masih masuk akal. Tapi ketika dia tiba-tiba ngejelasin, “Elisa
sendiri tinggal di Purwodadi. Kalau mau kemari, kamu harus naik pesawat dulu ke
Semarang. Setelah itu, cari bis menuju Purwodadi,” saya jadi ngebayangin si Wesel Pos ini pernah naik pesawat keliling Indonesia. Terlalu manusiawi. Nggak ada batasan seberapa jauh benda yang dijadikan
narator ini tahu kejadian di sekitarnya.
Di bab-bab selanjutnya nggak kalah ajaib. Wesel Pos bisa
tahu: kejadian yang terjadi ketika si Wesel Pos lagi nggak ada di dekat Elisa,
sejarah Elisa dan kakaknya yang memutuskan berangkat ke Jakarta (yang berarti
pada saat itu wesel pos belum digunakan), isi pikirannya Elisa, dan bahkan isi
pikiran orang lain selain Elisa. Saya bisa terima kalau Wesel Pos bisa
menjelaskan kejadian ketika dia ada di kantong jaket Elisa, atau tergeletak di
meja, atau di mana aja yang bisa kelihatan. Saya juga bisa terima kalau wesel
pos bisa tahu isi pikiran Elisa tapi dengan batasan sebagai benda mati. Kalimat
“Elisa pikir, Fahri tinggal di rumah yang posisinya rata di tanah. … Tetapi
dugaan Elisa salah,” terlalu ajaib untuk sebuah wesel pos bisa tahu sampai
sedalam itu. Kecuali kalau si Wesel Pos cuma bisa nebak-nebak apa yang dia
“lihat”. Atau mungkin menjelaskan dugaan wesel pos itu sebagai dugaan dia
sendiri: “Dari raut wajah Elisa, aku bisa merasakan bahwa ia tidak menyangka akan
dibawa ke sebuah gedung tinggi dengan deretan pintu dan berbagai macam pakaian menggantung di pinggir balkon."
Masih di bab yang sama, karena udah mulai berasa naratornya orang ketiga di luar cerita, saya kira memang akan seterusnya sampai selesai begitu.
Si Wesel Pos yang hebat ini bakal tahu segala sesuatu yang terjadi di sekitar
Elisa tanpa harus menempatkan dirinya sebagai benda mati. Taaapiii, tiba-tiba
di satu adegan si Wesel Pos muncul lagi! Ceritanya Fahri, teman kakaknya Elisa,
masih nggak percaya ada orang yang masih pakai jasa wesel pos. Sebelum Elisa
menjelaskan ke Fahri, si Wesel Pos tiba-tiba angkat suara, “Hey! Jaga mulutmu anak muda!
Aku ini lebih tua dari kamu! Sejak jaman Belanda masih jadi tuan meneer di
negeri kita, sampai sekarang kita punya presiden yang doyan rock band, aku
tetap eksis. Tuh kan… kamu bikin Elisa sedih dengan ucapanmu.”
...saya pengen udahan baca tapi langsung inget harga bukunya.
Hhh.
Jujur waktu baca bagian itu saya sempat kaget. Loh eh, leh
oh, kok si Wesel Pos muncul lagi? Kirain tadi udah resmi jadi orang ketiga. Ternyata nggak. Selain tahu segalanya, wesel posnya agak sombong,
ya. Hahaha.
Setelah Elisa menjelaskan alasan kenapa dia masih pakai
wesel pos, si Wesel Pos lanjut ngomong lagi ditambah sound effect tepuk tangan
yang ditulis nggak kayak suara tepuk tangan: “Keprok-keprok!” Dan di penjelasan selanjutnya Wesel Pos mulai
ngasih sedikit ilmu tentang penggunaan wesel pos di jaman sekarang. Sebuah
informasi yang dikemas dalam enam baris yang kemudian ditambah sedikit filosofi
tentang perubahan; bahwa “…perubahan adalah keniscayaan, tetapi bersedia pada
fungsi yang hakiki adalah prinsipku…” Daebak!!!
Setelah itu yaudah, saya lanjut baca dengan menerima bahwa
satu buku ini diceritain sama sebuah wesel pos yang kadang ada kadang tiada.
Ceritanya tetep berjalan dengan… baik. Ya intinya sih memang cuma nyeritain
orang kampung yang nekat ke Jakarta, terus sampai di sana ternyata kena sial,
abis kena sial ternyata ditolong sama orang baik, abis ditolong dia menemukan
fakta baru tentang kakaknya, abis itu dia mulai membuat rencana baru dengan
teman kakaknya, abis itu dibalik kebaikan teman kakaknya ternyata ada sebuah
keburukan, dan pada akhirnya keburukan itu bikin teman kakaknya “kalah” di
Jakarta.
Di bagian akhir, saya berharap ketemu si Wesel Pos lagi. Dan
ternyata bener aja, doi muncul lagi. Ceritanya dia terbang entah kemana, ikutan
“kalah” kayak Fahri. Tapi, entah ini perasaan saya doang atau emang paragraf
terakhirnya nggak “wesel pos” banget. Ya oke, mungkin penulisnya mau tetep bawa
suasana Jakarta, dan bagaimana ironisnya kehidupan di sana. Tapi… this book is
called Wesel Pos. Saya pengen
keironisannya Jakarta dilihat dari mata wesel pos, bukan penulisnya. Eh iya,
mungkin karena wesel posnya udah terbang kali, ya, jadi naratornya langsung
diambil alih sama penulis. Hmm, kalau begitu, kenapa nggak dari awal aja si
penulis yang jadi naratornya???
Baiklah, mungkin itu saja yang bisa saya tulis mengenai
novelet Wesel Pos. Novel tipis
seharga 50 ribuan ini menurut saya punya cerita yang sederhana—dalam artian ya
emang begitu doang ceritanya, tentang seorang perempuan yang nekat ke Jakarta
untuk mencari tahu apakah dia orang sakti atau orang sakit. Diceritakan
langsung oleh benda yang bisa tahu segalanya dan hey, sampai sekarang aku masih eksis tauk! yaitu wesel pos, cerita
ini membuat para pembaca menganggap bahwa benda mati bisa jadi sudut pandang
atau narator yang baik. Padahal nggak. Tapi kalau ngomongin penulisnya, saya
baru tahu kalau mb nya penulis Tabula Rasa dan Gadis Kretek, which I have not
read yet. Menurut review di goodreads, salah dua novel mb nya itu emang bagus
dan layak dapet penghargaan ketimbang novel yang terakhir ini. Sayangnya saya malah
kebagian baca novel ini duluan, jadi keburu ancur selera saya. Mungkin kalau
ada kesempatan saya akan coba baca buku-buku sebelumnya sebagai bahan
perbandingan.
Ya kalau sempet aja, sih.
Beneran tipis dan 50 ribuan kan... |
No comments
Post a Comment