Tuesday, August 7, 2018

Agustus sebagai Momen Kesadaran (Sekaligus Pencitraan)

Momen kesadaran pertama jatuh pada perasaan insecure yang secepat kilat bisa muncul kembali. Gue nggak akan sebut dalam konteks apa, tapi yang jelas gue nggak nyangka kalau gue bakal ngerasain hal itu lagi. Efeknya emang nggak separah dulu; sering jadi beban pikiran, sedangkan sekarang karena gue mulai terbiasa untuk bodo amat, jadi ya udah, bodo amat. Toh pada akhirnya sebagian besar masalahnya ada di gue. Kalau itu jadi hal yang mengganggu, gue adalah orang nomor satu yang harus bertindak. Pilihannya biasanya cuma dua; tetap bertahan atau cabut. Kayaknya gue lebih memilih cabut. Ya daripada jadi pikiran mulu, ya kan? Sekarang banyak kok yang ngaku kalau hidup mereka terasa lebih tentram semenjak meninggalkan orang-orang toxic di sekitar mereka. Gue juga ngerasain itu. Tapi gue nggak mau ngaku. Eh, ini gue udah ngaku ya. Yaudah, gue tambahin: gue akui gue juga ngerasa lebih tentram--nggak, bukan tentram. Bahasanya apa ya? Lebih... punya pandangan baru terhadap hal-hal yang gue temui. Dan gue merasa senang akan hal itu ketimbang hal-hal lain yang dulu bikin gue merasa insecure.

Momen kesadaran kedua adalah lagi-lagi masalah sepele yang berujung pada keputusan yang sama seperti di atas; cabut. Gue baru menyadari kalau ternyata satu kalimat pendek betul-betul bisa bikin orang berubah pikiran. Dulu gue kira ini hal yang konyol, terutama buat si orang yang nerima kalimat itu. Masa sih, lo bisa memutuskan untuk begini hanya karena kata-kata begitu? Pada saat itu gue nggak ngerti, karena emang gue belum pernah ngerasain. Setelah itu terjadi sama gue, tanpa ba-bi-bu, gue memutuskan (sambil bilang ke diri gue sendiri) bahwa gue harus mundur. Kalimat pendek itu bisa jadi apa aja, dan dalam konteks apa aja. Di gue, kalimatnya bener-bener hampir nggak berarti. Kayak cuma sautan biasa aja. Gue pun sempat menanggapinya dengan santai. Tapi efeknya ternyata cukup besar. Dan sampai detik ini gue belum menyesali keputusan gue untuk mundur. Dari kalimat itu, gue menyadari bahwa perubahan (kepribadian) gue yang gue kira udah cukup bisa diterima dan dimengerti, ternyata nggak. Di saat yang sama, gue pun menyadari kalau gue juga begitu, kurang bisa mengerti perubahan (atau mungkin ketidak-berubah-an) seseorang. Percuma juga kalau gue bertekad untuk menjadi mengerti karena gue nggak tau nantinya bakal gimana. Bagus kalau berhasil, kalau jadi sama-sama ngerti dan paham. Kalau ternyata nggak, capek dong gue udah buang-buang tenaga untuk memahami orang lain tapi gue nya jadi nggak memahami dan dipahami. (Akh setelah gue baca ulang, kalimat ini bikin pusing.)

Momen kesadaran ketiga bukan tentang perasaan, tapi hobi fotografi yang dulu sempat (dan masih, tapi jarang) gue tekuni. Mungkin akan gue ceritakan di postingan lain, khusus ngomongin kenapa dan bagaimana gue bisa suka fotografi. Kedengerannya sok penting dan sok profesional tapi percayalah, dulu gue bercita-cita untuk jadi fotografer Natgeo. Cuma setelah muncul Instagram dan berbagai motivasi bahwa 'foto bagus nggak mesti pake kamera DSLR kok!' dan 'foto bagus nggak mesti ribet kok!', gue jadi lebih kebawa arus ke situ, fotografi yang lebih "aesthetic" dan enak dipandang di media sosial. Nanti gue bakal ceritain omongan seorang "fotografer kampus" yang nyeritain pengalamannya motret objek lanskap di postingan selanjutnya (kalau inget hehehe).

Momen kesadaran keempat: gue beneran nggak bisa masak, kayaknya.

Momen kesadaran kelima kembali lagi mengenai perasaan emosional jiwa seorang Adella, bahwa ketika gue pada akhirnya memutuskan untuk mengeluhkan suatu hal--yang di dalamnya ada oknum-oknum tertentu--di media sosial, di saat yang sama gue memutuskan untuk berhenti peduli sama hal itu. Yah walaupun tetap menjaga untuk nggak sebut nama atau yang lain-lain secara spesifik, tapi pernah sekali itu berhasil. Orangnya nyadar dan minta ke gue untuk bilang langsung kalau emang ada keluhan mengenai diri dia. Betul, emang harusnya begitu. Tapi ya di situ bangsat nya. Ketika gue mengeluhkan sesuatu, kemungkinan terbesarnya adalah gue udah nggak peduli lagi mau lu kesel marah sedih atau apalah sama gue. Dan ketika yang terjadi sebaliknya, ketika gue tau ada yang salah dengan orang terdekat gue dan gue berusaha sebaik mungkin untuk nggak ngomong apa-apa, itu artinya gue sedang merajut rasa kepedulian gue. Anjay merajut. Eh tapi gue jadi keliatan jahat ya kalau kayak begitu, karena gue nggak mau mengingatkan orang kalau mereka salah. Hmmm, tunggu dulu anak muda. Kebanyakan keluhan gue itu asalnya dari gue pribadi. Maksudnya bukan perkara yang emang jelas-jelas merugikan khalayak ramai. Cuma antarpersonal aja. Dan itu bisa aja cuma gue yang ngerasain kan. Kalau udah nggak bisa gue tahan, biasanya gue tulis buat gue pribadi aja. Atau gue ceritain ke Andi (tenang, Andi suka lupa gue cerita apaan aja. Kalau kalian minta dia ceritain ulang, haiqul yaqin dia nggak bakal inget). Setelah nulis ini, gue jadi makin sadar kalau kemampuan komunikasi gue sangat buruk (secara verbal). Gue jadi harus nunggu "nggak peduli" dulu untuk bisa mengeluhkan sesuatu. Tapi mudah-mudahan selanjutnya nggak begitu. (Baca ulang bagian ini, dan ternyata gue suka mengeluh!)

Momen kesadaran terakhir tadinya mau tentang skripsi. Tapi karena gue takut nanti jadi pencitraan yang nggak faedah yang cuma berakhir jadi semacam ucapan 'ayo semangat Adel, kamu pasti bisa', gue jadi urung. Mungkin nanti di postingan lain (yha) gue tulis khusus ngebahas bagaimana skripsi gue berjalan. Tapi kayaknya nggak ada yang pengen tau juga. Gue aja nggak pengen tau gimana orang-orang ngerjain skripsi. Terus gue nggak jadi nulis postingan tentang skripsi dong entar? Payah. Padahal itu bisa jadi motivasi gue buat cepet kelar. Sayang sekali gue keburu mikir kayak begitu. Ah, yaudahlah. Sebagai gantinya, momen kesadaran yang terakhir adalah gue baru sadar kalau gue udah lama nggak nulis kayak begini dalam bahasa Indonesia. Gue cek archive blog gue terakhir kali gue nulis dengan format (?) kayak gini akhir tahun kemarin. Setelahnya gue curhat pakai English. Tentu saja bukan karena aku anak Sastra Inggris Universitas Al Azhar Indonesia, tapi karena mood waktu nulisnya berarti lagi mellow. Idih. 

Yaudah, mari kita menjalani bulan Agustus ini dan bulan-bulan setelahnya dengan gaya hidup sehat dan makan makanan yang bergizi. Kasian program GERMAS pemerintah jangan dianggurin. Karena sejatinya mereka peduli sama kita. Kalau nggak peduli, mungkin mereka udah bikin second account yang isinya curhatan soal masyarakat rese yang males jaga pola makan dan melakukan imunisasi tapi baru kena pilek atau batuk sehari aja udah langsung ke rumah sakit dan minta dirawat pakai BPJS. Yhaaa. 

Oke, stop sampai di situ. Ini udah kelewatan.


p.s.: beberapa poin tambahan sengaja gue tambahin di akhir paragraf dalam tanda kurung rather than gue tulis ulang, karena capek mesti mikir lagi hehehe.

No comments

Post a Comment

© based on a true story.
Maira Gall