Sunday, September 30, 2018

Masih Bab Tiga

Just so you know, I haven't finished my thesis. Yet.

Gue tau tulisan kayak gini biasanya berujung pencitraan mandraguna hulabalu segala macem, tapi beberapa hari ini ada banyak sekali hal-hal yang berputar di kepala gue dan kalau gue nggak menuangkan itu either lewat tulisan atau lisan, gue takut gue bisa jadi gila. Jadi karena gue merasa jauh lebih percaya diri ketika menulis, maka gue menulis ini.

So yeah, I haven't finished my thesis yet. And what's so wrong about that? Apa yang salah dengan hal itu? Tergantung darimana gue melihat itu sih, sebenernya. Secara major, gue melihat ini dari sisi teman-teman seangkatan gue, baik di kuliah, di SMA, di SMP, atau SD (nggak ada yang di TK karena dulu belum ada media sosial) yang hampir semuanya (kayaknya) udah pada lulus. Bahkan udah banyak yang wisuda juga. To be honest, gue benci sekali melihat setiap postingan di Instagram yang isinya either 1) foto selesai sidang beserta bebungaan palsu yang akhirnya bakal layu dan dibuang juga, 2) foto wisudaan dengan kebaya cantik (gue pengen banget pake kebaya lagi, fyi), makeup ciamik, dan bebungaan palsu lagi tapi kali ini lebih banyak, atau 3) kombinasi dari kedua hal tersebut. Well, I know gue terdengar sangat... menyedihkan, mungkin, dan being consciously miserable just by seeing that. Karena hal-hal itu kan, ya bisa dibilang lumrah lah ya, gue pun nggak bisa menghindari kalau gue ada di posisi mereka gue akan mengumbar kebahagiaan itu di media sosial. And even if I hate it so much, I can choose to just let it go. Gue bisa memilih untuk ber-oh-yaudah aja tiap ada postingan foto kayak begitu di timeline Instagram gue. Tapi pada akhirnya gue memilih untuk membenci itu just because I am not there yet. Yang pada akhirnya juga membuat gue berpikir kenapa gue belum sampai di titik itu. Yang pada akhirnya lagi membuat gue berpikir alasan gue belum sampai di titik itu adalah karena gue masih duduk diam di depan laptop, buka YouTube dan nontonin video-nya Gita Savitri dan Suhay Salim, dan bukannya buka MS Word, buka file bab 3 skripsi gue, dan tekun menyelesaikannya sampai selesai.

Yang pada akhirnya lagi membuat gue justru semakin mempertanyakan kapabilitas gue dalam menyelesaikan skripsi sekaligus membenci diri gue sendiri karena sudah mempertanyakan hal itu.

And yes, welcome to Adella's feedback loop of hell, kalau kata Mark Manson.

Jadi kalau mau disimpulkan dengan singkat, padat, dan jelas, kenapa gue bisa bilang gue benci melihat postingan Instagram yang berbau kelulusan adalah, karena hal itu membuat gue berakhir dengan membenci diri gue sendiri. (Hate is a strong word by the way, I think I misused this word but yaudahlah ya.) But I didn't blame you, my dearest friends, karena mem-posting hal itu. Nggak sama sekali. Gue tau itu hak kalian, dan mungkin itu adalah cara kalian untuk menyalurkan rasa bahagia kalian. Again, it's just me. Maka pada akhirnya belum menyelesaikan skripsi menjadi suatu hal yang salah ya karena gue melihat dari sisi itu.

Can it be a not-so-wrong thing? Kayaknya bisa. Kalau gue lihat dari sisi orang-orang yang juga bernasib sama, dan bahkan lebih parah dari gue. Masih banyak juga temen-temen gue yang belum sidang, atau masih ngerjain skripsi, atau malah masih asyik main mobile legends. Gue nggak tau sih apakah ini bad thing or not tapi ketika gue ngeliat mereka, yang ada di pikiran gue adalah: 1) Wow, santai sekali hidup mereka seperti tidak ada beban! Aku harus bisa seperti itu juga walaupun skripsiku belum selesai! 2) Wow, santai sekali hidup mereka seperti tidak ada beban! Tapi itu semua mustahil, aku tau deep down mereka pasti juga panik dan pengen cepet-cepet selesaiin skripsinya. Aku tidak boleh seperti itu dan harus segera menyelesaikan skripsiku!

Kenapa ada banyak sekali pro dan kontra di otakku yah haduh...

I didn't mean to make my friends who haven't finished their thesis as a bad example and become a source of "motivation" untuk sebisa mungkin lebih baik dari mereka. Gue sadar betul tiap orang punya phase waktunya masing-masing dan gue nggak bisa mengklaim mereka lelet atau apalah, karena gue nggak tau apa yang ada di dalam pikiran dan hati mereka. Tapi lucunya, hal ini seolah-olah hilang ketika gue ngeliat temen-temen gue yang udah pada lulus. Tiba-tiba gue bergumam, kok dia bisa cepet ya selesainya... Terus beberapa detik kemudian gue inget lagi soal phase waktu tadi dan menjadikan itu sebuah pembelaan. Pembelaan yang lama-kelamaan malah jadi alesan untuk terlalu santai. Is that wrong? Well, not really sebenernya. At the end nggak ada yang seratus persen bener, nggak ada yang seratus persen salah. Iya nggak, sih? Tergantung gimana gue menyikapi hal ini kan, sebenernya? Gue bisa aja berhari-hari bermuram durja karena ngeliat temen-temen SMA gue udah pada lulus (apa? temen???) tanpa ngasih any progress buat skripsi gue. Atau gue bisa aja terus-terusan bilang bahwa phase waktu gue emang segini, gue nggak bisa dipaksa untuk kerja lebih cepet walaupun taruhannya skripsi gue jadi lama kelarnya. And honestly I don't know why I'm telling this to you guys, seriously, otak gue kayaknya udah mulai fucked up karena kelamaan dianggurin. Tapi gini aja deh kesimpulannya (harus banget ada kesimpulan ya padahal cuma postingan blog doang):

Gue rasa gue dan teman-teman gue lainnya, terutama yang seangkatan, udah sampai pada titik di mana nobody can push you harder except yourself. That or the college expanses your parents have spent. Any sort of motivation 101 or semangat-kakak-ngerjain-skripsinya kind of thing has become a bullshit. Nggak tau yaaa, gue sih ngerasanya gitu. Dari dulu gue nggak pernah tergerak untuk ngerjain sesuatu cuma karena disemangatin sama "orang terdekat". Karena gue tau yang bisa gerakin gue buat ngerjain sesuatu itu ya cuma gue. Dan semakin gue mikirin ini gue jadi makin bingung, sebenernya apa maksud dan tujuan gue nulis ini selama kurang lebih dua setengah jam? Well, you know, I'm just sayiiing. Everyone deserves to say whatever they want to say, riiight? Hahaha gila ya gue segitu takutnya di-judge sama orang padahal nggak ada yang mau judge juga (eh apa sebenernya ada? Ya nggak papa sih kalau ada, Inshaa Allah aku siap kok di-judge.) Ini sih sebenernya biar otak gue nggak luber aja, terus biar ada pancingan supaya gue bisa lanjut nulis yang lain. Plus gue terinspirasi dari videonya Fathia Izzati yang Hidup Setelah Lulus dan postingannya Andi yang berjudul hampir sama. Bedanya mereka ngomongin kehidupan setelah lulus, gue ngomongin kehidupan sebelum lulus. Yha.

Tapi, beneran deh. Gue pingin cepet-cepet lulus. Gue mau pake kebaya sama sneakers putih gue yang dekil itu.

No comments

Post a Comment

© based on a true story.
Maira Gall