Thursday, November 8, 2018

Time and Achievements

Sampai detik ini, gue masih suka berpikir bahwa pencapaian atau achievements adalah salah satu cara ampuh untuk membuktikan bahwa gue capable untuk move on dari segala sesuatu yang pernah terjadi dulu. Despite pernyataan "gue bahagia untuk diri gue sendiri", pasti selalu ada embel-embel "sekalian mau buktiin ke mereka-mereka yang dulu ngeliat gue nggak ada apa-apanya, kalau sekarang gue bisa lebih baik bahkan dari mereka". I know it's a fallacy to think like that because it is somehow sounds very cocky, but let's just be honest, kita semua pasti pernah ada di state itu.

Hari selasa kemarin, setelah ikut bersuka ria menghadiri acara fakultas, gue dan Lutfia akhirnya ngomongin soal ini di McDonald's Sarinah. Padahal niatnya ke situ mau mengerjakan "sesuatu", tapi apadaya kalau berduaan gitu emang paling enak ngobrol. Awalnya gue ceritain sesuai timeline kejadian-kejadian waktu SMA. Thank God, I've already in a state di mana membicarakan hal-hal itu udah bukan jadi beban pikiran lagi. I'm not mad, I'm not sad, it's just simply a story. Rasanya udah kayak nyeritain cerita goblok anak SMA aja.

Lutfia pun begitu. Dan setelah ceritanya selesai, dia mengakui bahwa she feels much better now, like she's happy by her own self, she's happy with her achievements, she's happy with every good things that happened to her after that stormy days back in high school. "Lo liat nih, sekarang gue seneng, gue bisa jalan-jalan, gue bahagia dan gue udah nggak mikirin yang dulu-dulu lagi." Yas, bitch, you got the point.

Gue inget banget tahun kemarin gue masih berkutat sama KMPS, ngurusin launching buku, pelepasan jabatan, dan segala tetek-bengek lainnya. Terus setelah semua kelar, terutama setelah gue dan anak-anak Inkfinitum nerbitin buku kumcer pertama, itu gue seneng banget. Literally seneng, bukan seneng bohongan yang cuma pencitraan. Ditambah lagi waktu itu gue dikasih apresiasi akademik di acara fakultas--yang mana gue sebagai angkatan paling tua waktu itu tapi tetep dikasih apresiasi huhuhu makasih loh, UAI. Walaupun orang lain mungkin melihat ini sebagai hal kecil, tapi buat gue itu semua adalah achievements yang bisa gue jadikan sebagai pembuktian bahwa: I'm much better now.

Ketika ngomongin pembuktian, tentunya di dalam lubuk pikiran paling dalam terlintas satu oknum tertentu yang jadi sasaran pembuktian itu. Waktu itu gue masih emotionally unstable, gue sakit hati (hoek) sama dia-dia lagi, terus nggak lama gue launching buku. Abis launching buku, gue dapet apresiasi akademik. Abis itu gue turun jabatan which means laporan organisasi gue juga kelar tuntas. It's something that means so much to me, bukan cuma karena gue mendapatkan itu semua di saat gue sedang berada di titik terendah, but it also because I was struggling and also suffering, but I survived. Gue masih bertahan pada waktu itu tanpa harus bergantung secara emosional ke orang lain (even Andi baru gue ceritain setelah semua itu lewat). Soal achievements itu jadi bonus sampingan, but the fact that I've gotten through that all by myself, the progress I've made, was making me feel so great. I gave myself a pat in my shoulder sebagai bentuk apresiasi terkecil yang bisa gue kasih ke diri gue sendiri.

But then again, pada awalnya memang fokus utama gue adalah pembuktian untuk mereka-mereka yang mungkin berpikir bahwa I'm still not okay. Dan yang bikin hal ini jadi ironis adalah, ada kemungkinan mereka yang kita jadikan target sasaran itu nggak melihat achievements yang kita capai sebagai bentuk pembalasan dendam diam-diam ke mereka. Gue sadar banget akan hal itu. Tapi, yah, sebagai umat manusia yang pada dasarnya sangatlah egosentrik, gue nggak kepikiran ke situ lagi. Pokoknya highlight-nya pada waktu itu akan selalu tentang gue dan segala pencapaian gue.

Cuma, yang gue suka dari konsep ini adalah, ini bisa membuat mereka yang suka overthink unnecessary things jadi lebih bisa menghargai diri mereka sendiri. Supaya mereka--atau kami deh karena gue juga suka begitu hahaha, nggak melulu merendahkan diri sendiri. Gue nggak tau mungkin buat sebagian orang ini bukan sesuatu yang penting, tapi ada manusia yang saban hari mikir begitu (don't point your finger at me, please). For those people, it is something relieving that could make them feel better with whatever they are doing, because nothing is more important than that.

Balik lagi ngomongin achievements. Secara nggak langsung, orang-orang seperti gue dan Lutfia somehow nggak cuma dealing with that, there's also time. Waktu itu kita nggak bisa langsung lempar berbagai macam achievements di depan muka orang yang nganggep kita nggak ada apa-apanya, sebagai pembuktian bahwa kita bisa lebih baik dari mereka. Kita butuh waktu yang nggak panjang-panjang amat tapi yah lumayanlah. Dan inilah lucunya Semesta. Bayangkan kalau waktu itu gue bisa langsung menghasilkan sebuah mahakarya atau mahadaya cinta atau apalah setahun setelah gue lulus SMA. It's not a big deal tapi setidaknya cukup untuk membuat oknum-oknum tertentu melihat gue sebagai "something". Mungkin mereka akan reconsidering perkataan atau perbuatan mereka ke kita. Tapi sayangnya nggak begitu. Semua butuh proses, dan proses butuh waktu, dan iya, phase waktu orang itu beda-beda. In a simple hyperbolic words: biarkan waktu dan usahamu yang menjawab (pengen kasih hoek tapi aku setuju sama tulisanku sendiri, gimana dong? :( But then again, ini salah satu cara Semesta buat bikin hidup kita jadi lebih menarik aja. Supaya nanti kalau udah berkeluarga dan lagi duduk santai di hari Minggu, ada cerita menarik buat diceritain ke anak-anak. Sekalian kasih pelajaran ke mereka kalau proses itu lebih penting ketimbang hasilnya.



Anjay. Wise Mom material sekali Adella ini. [inserting cool emoji]

No comments

Post a Comment

© based on a true story.
Maira Gall