Friday, February 15, 2019

Poems I Wrote and I Consciously Posted on the Internet

May I present you, a poem collection from tonight's "on the way home". Mostly written in public transportation. All of these so-called-poems are representation of what I recently felt emotionally due to many internal circumstances which means: iya gue lagi bawel setelah berhari-hari mendekam di kamar dan menangis tersedu-sedu. You can probably find the reason why from these poems. Well just read (if you want to) my non aesthetic poems because I'm just too lazy to arrange them in particular ways to make it like poems you found on contemporary poetry books.

*

i/
Malam ini aku naik bus transjakarta khusus penumpang wanita yang disupiri oleh seorang bapak paruh baya. Busnya tidak kosong tapi pendingin udaranya sejuk sekali. Aku duduk di deretan bangku belakang, dekat mesin berbahan bakar gas yang kala itu pernah bermasalah dan meledak di tengah jalan. Jendela di samping kiri lebar sekali seperti bingkai foto kalau dilihat dari luar. Di dalam sini mereka duduk sambil menatap jendela atau ponsel pintar yang pengaturan cahayanya terlalu terang. Di luar mereka menunggu sambil melongokan kepala guna memastikan bus jurusan mana yang selanjutnya akan tiba.

Bus masih melaju di jalur khusus buatan pak gubernur. Di samping kiri mobil-mobil saling mengekor sambil sesekali berandai-andai menjadi angkutan umum dengan jalur khusus buatan pak gubernur. Lampu merah bergantian menyala dengan lampu kuning dan hijau, sedang mesin beroda empat itu hanya mampu memamerkan satu warna lampu saja di pantatnya.

Bus masih melaju, aku ingin dadah-dadah tapi tidak akan ada yang membalas. Manusia-manusia melangkahi deretan cat putih di atas aspal yang dingin. Mata mereka sedikit was-was ketika beradu pandang dengan lampu sorot sialan berwarna putih. Entah takut buta atau takut kehilangan nyawa.

Bus masih melaju, aku ingin tidur tapi tidak bisa. Atau sebenarnya memang tidak ingin. Aku tidak asing dengan jalanan ini tapi jendela di sebelah serupa televisi empat puluh dua inci dengan tontonan bisu yang begitu menarik. Tiga kopaja menunggu di bawah jembatan. Lampu di dalamnya remang-remang, membuat penumpang di dekat jendela tidak dapat melihat jelas hingga akhirnya terbius oleh angin malam. Semua bangku di dalam bus sudah berpemilik. Meski sebentar lagi mereka akan kepanasan lalu dingin lagi karena pendingin udara yang masih saja sejuk. Bus ini harusnya membantuku untuk bisa segera tiba di rumah, tapi, kasihan pak supir dan mbak kondektur kalau kutinggal turun di halte tosari. Mereka nanti tidak bisa jadi bahan untuk tulisan selanjutnya.

Bus masih melaju, dan untuk pertama kalinya aku tidak ingin pulang.

-19:20, transjakarta Blok M - Kota, sengaja duduk di belakang supaya tidak usah turun sampai pemberhentian terakhir.


ii/
Aku jadi ingat waktu temanku mengajak makan soto di jalan sabang malam itu. Kami bertiga berjalan menyusuri tenda-tenda makanan yang aromanya sungguh menggoda. Satai ayam itu enak, kata temanku. Itu juga enak, katanya lagi. Wah itu enak banget tuh, begitu lagi ucapnya sampai akhirnya kami tiba di depan gerobak dengan tempelan sticker huruf bertuliskan "soto madura" di kacanya. Kami pesan tiga mangkuk dengan nasi putih dan es jeruk. Temanku minta tambah ceker. Kami makan soto seperti baru pertama kali makan soto. Rasa lapar betul-betul mampu mengubah rasa makanan jadi istimewa. Selesai makan kami membicarakan seseorang yang kami kenal. Dia begini, dia begitu, segala macam kata sifat dikeluarkan. Kadang ada sisipan berbentuk nama hewan untuk memeriahkan suasana. Lalu obrolan ditutup dengan seruan khas anak kuliahan; cabut yuk!

Sebentaraku ini rindu makan soto di jalan sabang atau hanya ingin ngobrol sama teman?

-19:29, masih di bus transjakarta jurusan Blok M - Kota, laper.


iii/
Kapan pertama kali ide transjakarta tercetus?
Sungguh, ini ide yang bagus.
Menyuruh manusia membayar tiga ribu lima ratus,
untuk bisa jalan-jalan sampai ke lebak bulus.


iv/
Aku ingin ke luar rumah sampai kemejaku bau asap knalpot metro mini, atau sampai jaket lusuhku bau asap rokok orang-orang taktahu diri. Aku ingin ke luar rumah sampai sepatuku penuh lumpur kering bekas becekan hujan tadi siang. Aku ingin ke luar rumah sampai wajahku kembali penuh debu dan kotoran yang esok pagi akan jadi jerawat matang. Aku ingin ke luar rumah sampai isi kepalaku tidak berantakan lagi seperti antrean panjang mobil-mobil avanza mau masuk tol.

Aku ingin ke luar rumah sampai aku bisa merasa berada di rumah.

-18:58, halte Masjid Agung, sudah melewatkan tiga bus menuju Kotasengaja.


v/
Gerobak bakso di dekat stasiun sudirman masih buka ternyata. Baksonya juga masih banyak. Mihun dan bihun dan sohun masih berderet rapi di etalase gerobak. Sambalnya apalagi, minta satu centong pun bakal dikasih. Abangnya sedikit lelah, kesulitan mengingat pesanan si ibu yang entah tidak pakai bawang daun atau bawang goreng. Kasihan, tapi mau bagaimana lagi. Lima belas ribu per mangkuk, lumayan buat isi kuota seminggu.

-21:10, kereta menuju Angke, merayakan malam yang lambat dan sepi dengan makanan berkuah pedas.


vi/
Panggilan telepon dari rumah taklagi membuatnya merasa dikhawatirkan semenjak ia kehilangan arti sebuah kehangatan. Sepasang mata yang menatap penuh harap sudah pensiun jadi penunggu pintu pagar. Mulut yang takberhenti mengoceh sudah kadung kehabisan suara. Sepasang pundak yang biasa dipeluk sudah menolak entah karena malu atau lebih karena jenuh.

Kalau di sana dingin, untuk apa kembali? Pun di luar jauh lebih dingin. Kalau di sana sepi, untuk apa kembali? Pun di antara kaki-kaki yang bergerak ia bisa merasa kesepian.

Ketika deretan nomor yang sudah dihapalnya itu muncul kembali, ia tahu, tidak ada kehangatan yang sama tersirat di dalamnya.

-21:56, kereta menuju Tangerang, untuk kucing.

No comments

Post a Comment

© based on a true story.
Maira Gall